Tepat pada hari ini, 17 tahun lalu, dunia penerbangan sipil dan militer Indonesia sempat diusik oleh arogansi militer negara superpower, Amerika Serikat (AS). Insiden yang terjadi pada 3 Juli 2003 itu kini lebih dikenal dengan Insiden Bawean.
Baca juga: Sejak 1973, Iran, Rusia dan AS Ternyata Pernah Menghantam Pesawat Penumpang dengan Rudal
Sejatinya, aksi koboi pesawat tempur F/A-18 Hornet dari kapal induk nuklir di USS Carl Vinson (CVN-70) yang mengangkut 100 pesawat tempur, 16 pesawat pengintai, dan enam helikopter, diawaki oleh 3.184 kelasi dan perwira, 2.800 pilot dan awak pendukungnya, serta 70 personel lainnya di sekitar Pulau Bawean ini lebih ke insiden militer.
Tetapi, dengan masuk ke jalur penerbangan sipil Green 63 di dekat Pulau Bawean, 66 mil laut dari Surabaya, aksi militer tersebut pada akhirnya juga berdampak pada penerbangan sipil yang kala itu sedang dijajaki oleh Bouraq dan Mandala Airlines.
Insiden Bawean yang menimpa Bouraq dan Mandala Airlines mungkin bisa dibilang tak sepopuler insiden maskapai penerbangan lainnya, seperti AirAsia QZ 8501 hingga Sukhoi Superjet 100. Sebab, bila insiden Air Asia sampai menimbulkan korban jiwa sebanyak 162 orang dan Sukhoi Superjet sedikitnya menewaskan 45 orang, tidak demikian bagi Bouraq dan Mandala Airlines.
Hanya saja, insiden yang menimpa kedua maskapai tersebut tidak bisa dipungkiri berpotensi menghilangkan nyawa ratusan penumpang. Terlebih dari catatan sejarah, aksi militer negara-negara lain di dunia secara umum dan AS secara khusus, pernah beberapa kali menembak jatuh pesawat komersial; seperti insiden Airbus A-300 Iran Air di Teluk Persia oleh kapal USS Vincennes dan Boeing 747 Korean Air oleh jet-jet tempur Soviet di Pulau Sakhalin.
Menariknya, pada waktu Insiden Bawean terjadi, Indonesia memang sedang berada dalam embargo militer terbatas oleh AS. Jadi, dilihat dari tensi geopolitik, Insiden Bawean memang sangat mungkin merugikan penerbangan komersial, dalam hal ini Bouraq dan Mandala Airlines; termasuk juga pesawat militer yang ditugaskan untuk mengintersepsi F/A-18 Hornet, F-16 TNI AU yang berkali-kali sudah siap dirudal kapanpun karena berada dalam posisi locked.
Selain memungkinkan terjadinya insiden yang melibatkan pesawat sipil, secara hukum, aksi militer F/A-18 Hornet yang disebut hanya sebatas latihan dengan beberapa manuver di wilayah udara Indonesia tentu saja telah melanggar perjanjian internasional serta kedaulatan Indonesia.
Dikutip KabarPenumpang.com dari Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, “Pelanggaran Kedaulatan Indonesia oleh Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat”, secara yuridis, aksi militer F/A-18 Hornet dalam Insiden Bawean merupakan tindakan ilegal.
Teori Konvensi Chicago Tahun 1944 atau teori International Civil Aviation Organitation (ICAO) yang sama-sama diratifikasi oleh Indonesia dan AS, menyebut sebuah negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusif terhadap ruang di udara di atas wilayahnya.
Oleh karenanya, setiap pesawat, baik pesawat negara maupun pesawat sipil negara, harus melakukan kontak dengan pihak ATC. Dalam Insiden Bawean, militer AS jelas melanggar aturan tersebut karena tidak melapor ke ATC dan masuk ke Green 63 jalur penerbangan sipil, berada di ketinggian sekitar 15.000 kaki atau 4,752 km. Padahal, jalur tersebut tengah melintas Boeing 737-200 Bouraq Airlines.
Dosa militer AS lainnya dalam Insiden Bawean, mereka juga melakukan manuver berbahaya di jalur tersebut dan jalur lain di sekitar sehingga juga mengganggu penerbangan sipil lainnya, Mandala Airlines. Beruntung, aksi heroik awak F-16 TNI AU yang ditugaskan berhasil menghalau F/A-18 Hornet melakukan tindakan ilegal yang mengancam pesawat sipil lebih jauh.