Bagi Anda yang kerap bepergian menggunakan pesawat, di beberapa momen, mungkin pernah mengalami pendaratan agak kasar atau hard landing. Sebagai orang awam, pendaratan tersebut tentu buruk dan tidak lebih baik dibanding pendaratan halus atau soft landing. Namun, bila ditelusuri lebih lanjut, penilian tersebut tidak sepenuhnya benar.
Baca juga: Otoritas Rusia Terpaksa ‘Mutilasi’ A321 Ural Airlines yang Lakukan Hard Landing di Ladang Jagung
Dihimpun KabarPenumpang.com dari aviation.stackexchange.com, dalam kondisi normal, soft landing memang menjadi idaman bagi setiap pilot, bukan hanya penumpang. Bahkan, sudah menjadi sebuah keharusan dan keniscayaan untuk melakukan pendaratan halus dalam kondisi tersebut.
Sebaliknya, dalam kondisi tidak normal, seperti hujan deras, angin kencang, dingin, bersalju, atau sejenisnya, soft landing belum tentu menjadi sebuah keharusan, meskipun pilot tetap bertanggungjawab untuk mengejar pendaratan mulus.
Seumpama, dalam kondisi angin kencang, secara prinsip, pilot masih bisa melakukan soft landing. Semua persiapan pun sudah dilakukan dengan baik, seperti landing approach altitude dan landing approach angle yang sesuai, manuver pesawat yang masih masuk kategori stabilize approach, dan turun mengikuti glideslop yang kesemua itu, secara teknis sebetulnya sudah menuntun pada hasil akhir berupa pendaratan mulus.
Kemudian, ketika pesawat sudah hampir memasuki zona touchdown atau titik pendaratan pesawat dan sudah berada di ketinggian sekitar 50 kaki atau sekitar 15 meter, tiba-tiba angin kencang membuat landing approach angle meleset. Kacaunya lagi, tekanan angin di sekitar runway juga cukup tinggi, bisa karena cuaca terlalu terik dan menyebabkan udara banyak terkumpul di runway akibat pemuaian, sehingga membuat pesawat mengambang selama beberapa saat. Padahal, pesawat sudah harus melakukan landing di zona touchdown, bila tidak, pesawat terancam overrun atau keluar runway.
Dengan kegetingan tersebut, biasanya pilot tak memiliki jalan lain kecuali melakukan hard landing, dimulai dengan perubahan rate of descent atau perubahan ketinggian yang cukup signifikan, semata agar pesawat mendarat di zona touchdown atau sekalipun meleset, jaraknya tak terlampau jauh.
Dalam kondisi lain, seperti permukaan runway basah atau tergenang air akibat hujan lebat, bersalju, serta dipenuhi pasir (biasanya di wilayah padang pasir), hard landing bahkan menjadi salah satu teknik pendaratan yang dianjurkan. Hal itu guna menghindari hilangnya gesekan antara ban dengan permukaan runway. Sebab, bila gesekan antara keduanya hilang, maka pesawat akan mengalami hydroplanning atau selip ban dan menyebabkan proses pengereman menjadi sangat tidak maksimal. Singkatnya, dalam kondisi tersebut, hard landing berarti positive landing.
Namun, hard landing tidak serta merta dilakukan begitu saja. Perlu didukung beberapa faktor, seperti ban tidak boleh dalam keadaan terlalu keras atau overload dan sebaliknya, tidak boleh pula terlalu kempes atau under-inflated. Selain itu, tentu saja pilot harus berpengalaman untuk melakukan teknik pendaratan tersebut dalam berbagai kondisi. Bila tidak, suatu hal buruk mungkin akan terjadi.
Baca juga: Pasca Hard Landing, Muncul ‘Kerutan’ di Bodi Boeing 757-200 Delta Airlines
Pasalnya, secara teknis, hard landing mempunyai batasan tertentu. Biasanya mencapai 2.0G (bergantung pada jenis pesawat). Pada 21 Februari 2007, misalnya, sebuah pesawat Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan PK-KKV milik maskapai Adam Air, melakukan hard landing dengan benturan mencapai 4.0G. Akibatnya, beberapa kerusakan pada struktur pesawat pun tak terhindarkan. Begitu juga dengan Airbus A320 yang mengalami hard landing di Berlin pada Agustus 2012 silam. Kala itu, Flight Data Recorder (FDR) mencatat berturan sebesar 4.1G dan mengakibatkan kerusakan pada struktur pesawat.
Jadi, baik soft landing ataupun hard landing, bila ditanya manakah yang lebih baik, tentu saja semua bergantung pada situasi dan kondisi. Tidak ada yang benar ataupun salah, yang ada hanyalah teknik yang tepat pada kondisi yang tepat. Bisa saja hard landing dibutuhkan pada cuaca yang sangat terik namun permukaan runway dipenuhi dengan partikel pasir, debu, atau sisa karet ban pesawat yang terkelupas, tertinggal di runway selama bertahun-tahun dan mengendap di sana hingga memungkinkan pesawat mengalami selip ban.