Pasca libur Imlek yang jatuh pada awal Februari kemarin, sektor penerbangan penumpang mulai memasuki masa low season, dimana permintaan untuk mengudara mengalami penyusutan. Secara otomatis, ketika permintaan mengalami penurunan, maka load factor (tingkat keterisian penumpang) dari masing-masing maskapai juga akan mengalami penurunan. Kendati begitu, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Polana B Pramesti mengatakan, para pelaku usaha harus tetap optimis dengan kondisi yang ada sekarang.
Baca Juga: Sambut Low Season, Scoot Gelar Promo Tarif Awal Tahun
“Jadi saya mengajak semua stakeholder untuk optimistis memandang bisnis penerbangan tahun ini akan terus tumbuh dan berkembang. Dan yang paling penting, harus tetap mengutamakan keselamatan, keamanan, pelayanan dan patuh terhadap aturan-aturan penerbangan yang berlaku,” ujar Polana, seperti yang dikutip KabarPenumpang.com dari laman republika.co.id (11/2/2019).
“Memang kondisi low season yang merupakan siklus tahunan, yaitu di Januari dan Februari. Lalu Maret baru mulai mengalami peningkatan,” imbuhnya.
Mengutip dari laman sumber yang sama, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub mencatat pada 2016 saat Januari jumlah penumpang 6,7 juta orang, Februari 6,4 juta orang, Juli 8,7 juta orang, dan Desember 8,4 juta orang. Sementara itu pada 2017, saat Januari jumlah penumpang 7,7 juta orang, Februari 6,5 juta orang, Juli 9,5 juta orang, dan Desember 9,0 juta orang. Selanjutnya pada 2018, saat Januari jumlah penumpang 8,3 juta orang, Februari 7,5 juta orang, Juli 9,7 juta orang, dan Desember 8,1 juta orang.
Senada dengan Polana, Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan menetaskan pernyataan yang sama. “Periode Januari – Maret itu memang masuknya low season. Memang secara seasonal-nya begitu. Di awal tahun turun, tapi nanti di periode April – Juni meningkat,” tutur Iksan dikutip dari laman sumber terpisah.
Di tubuh flag carrier Indonesia sendiri, tingkat keterisian penumpang mengalami penurunan sekira 10 hingga 15 persen. Berbanding terbalik jika tengah masuk periode peak season, dimana angka keterisian Garuda Indonesia bisa mencapai 75 hingga 90 persen.
“Low season itu biasanya (tingkat keterisian penumpang) hanya 60%-70%,” jelasnya. Mengantisipasi hal tersebut, Iksan menuturkan bahwa Garuda Indonesia memberlakukan regulasi khusus selama low season.
“Ketika low season kapasitas harus disesuaikan. Pesawat kita misalnya, frekuensi salah satu kota dari tujuh, jadi enam. Sebagian pesawat yang kita kurangi frekuensinya itu, nanti akan masuk ke hanggar,” jelas Iksan.
Kondisi low season ini sendiri semakin diperparah dengan melonjaknya harga tiket beberapa waktu ke belakang – hampir berbarengan dengan pemberlakuan regulasi penghapusan bagasi gratis oleh sejumlah maskapai nasional, seperti Lion Air.
Baca Juga: Dielukan dan Selalu Dicari, Inilah Serba Serbi Low Cost Carrier
Corporate Communication Strategic Lion Air, Danang Mandala Prihantoro menambahkan bahwa para pelaku bisnis kedirgantaraan nasional seolah hanya bisa pasrah menghadapi low season jika memang minat terbang dari penumpang saja tidak ada – ditambah dengan pemberlakuan regulasi bagasi berbayar.
“Cuma sekarang ini lagi ramai heboh tiket pesawat mahal dan ada bagasi berbayar. Jadi, semua dihubung-hubungkan seolah-olah kena efek,” tuturnya. “Ya kalau low demand enggak bisa diapa-apain, masyarakat ogah pergi juga.”