Turbulensi adalah momok menakutkan bagi penumpang di setiap penerbangan. Celakanya, ke depan, setiap penerbangan akan lebih banyak mengalami ‘turbulensi tak terlihat’ akibat pemanasan global.
Baca juga: Enam Jenis Turbulensi Pesawat, Mana yang Paling Sering Terjadi?
Penelitian baru yang diterbitkan di Science Advances membeberkan bahwa saat planet memanas akibat global warming, atmosfer yang paling dekat dengan Bumi telah meningkat.
Hal ini membuat pilot perlu terbang lebih tinggi untuk menghindari turbulensi dan kemungkinan penumpang akan mengalami perjalanan yang lebih bergelombang atau bisa juga disebut ‘turbulensi tak terlihat’ di masa depan.
‘Turbulensi tak terlihat’, seperti dikutip dari The Sun, yang disebabkan oleh pergeseran angin -ketika kecepatan angin berubah secara tiba-tiba- juga akan meningkat dalam beberapa dekade mendatang saat bumi memanas, memberikan gaya putar berlebih pada pesawat dan memicu turbulensi.
Semakin bumi memanas, turbulensi tak terlihat akan semakin sering terjadi. Bila tak ada inovasi dalam menyiasati hal ini, perjalanan jarak dekat apalagi jarak jauh mungkin tak akan se-menyenangkan seperti sekarang.
Para peneliti menekankan, ‘turbulensi tak terlihat’ ini bisa sangat parah dan menghantui para penumpang pesawat yang gugup dan trauma.
Di bulan Agustus 2019, pramugari maskapai Thomas Cook (saat ini sudah bangkrut) dilaporkan mengalami patah tulang setelah pesawat Airbus A330-200 yang ditumpanginya mengalami turbulensi hebat.
Baca juga: Apa yang Harus Anda Lakukan Jika Turbulensi Menyerang Saat Berada di Toilet
Beberapa bulan berselang atau pada Februari 2020, Badai Ciara membuat pesawat Air Europa alami tubulensi parah. Meski tak sampai membuat penumpang atau kru patah tulang seperti di penerbangan Thomas Cook, tetapi itu lebih dari cukup untuk membuat penumpang muntah-muntah dan berteriak histeris.
Bila saat ini turbulensi bisa membuat penumpang celaka, bagaimana di masa mendatang yang notabene, dalam penelitian oleh University of Reading, turbulensi bakal terjadi tiga kali lebih banyak pada tahun 2050 hingga 2080.
Saat ini, perubahan iklim menyebabkan perbedaan suhu antara kutub bumi dan khatulistiwa menyusut. Jurang perbedaan yang teramat dalam ini disebut peneliti “menyebabkan peningkatan geser angin yang mendorong terjadinya turbulensi”.
Meski begitu, penumpang tak perlu khawatir. Begitu banyak ilmuan di luar sana yang tengah mencari solusi atas ancaman ini, salah satunya Andras Galffy, seorang mahasiswa doktoral dari Technische Universität Wien asal Austria, yang tergabung dalam kelompok penelitian Advanced Mechatronic Systems.
Andras Galffy dan kelompok tersebut diketahui berhasil menemukan sebuah teknologi sensor yang mampu mengurangi resiko turbulensi hingga 80 persen.
Selain dapat mengurangi kenyamanan dan keamanan akibat turbulensi, teknologi yang sudah mendapat hak paten tersebut dinilai juga dapat menghemat bahan bakar.
Baca juga: Jangan Lagi Takut Turbulensi, Teknologi ini Bisa Buat Pesawat Nyaris Terbang Mulus
Pasalnya, ketika turbulensi terjadi, sistem perputaran angin pada sayap pesawat menjadi tak beraturan hingga mengurangi daya angkat pesawat. Akibatnya, pesawat harus mengeluarkan ‘tenaga’ ekstra untuk tetap mempertahankan jalur, ketinggian, serta gaya angkat.
Teknologi sensor anti turbulensi itu sejauh ini baru diuji di pesawat tak berawak dan tengah diupayakan untuk bisa dipakai di pesawat komersial.