Insiden kecelakaan Boeing 737 MAX yang menimpa Lion Air dan Ethiopian Airlines sudah pasti bakal merusak hegemoni Boeing dalam persaingan menjadi produsen pesawat nomor satu di dunia. Terbukti, kecelakaan yang diikuti grounded berkepanjangan 737 MAX membuat Airbus berhasil menyalip pesanan pesawat di tahun ini.
Baca juga: Hacker Cina Manfaatkan Airbus Guna Dapatkan Dokumen Beberapa Perusahaan Dirgantara
Akan tetapi, bila ditelusuri lebih dalam, insiden Boeing 737 MAX rupanya bukan hanya merusak hegemoni Boeing, melainkan juga merusak hegemoni regulator penerbangan sipil Amerika Serikat (FAA) dari segi pengaruh di tataran global. Selama ini, mengakui atau tidak, FAA merupakan kiblat regulator penerbangan sipil negara-negara di dunia dalam mengambil keputusan ataupun membuat kebijakan.
Seperti diberitakan South China Morning Post, Regulator Penerbangan Sipil Cina (CAAC) memimpin grounded Boeing 737 MAX dan dengan cepat diikuti oleh banyak negara, mulai dari Ethiopia, Indonesia, Mongolia, Maroko, Singapura, flag carrier negara-negara Amerika Latin, dan Korea Selatan; termasuk Badan Keselamatan Penerbangan Eropa (EASA).
Padahal, saat CAAC mulai melarang 737 MAX beredar di langit Negeri Tirai Bambu, FAA belum memutuskan apapun dan sebaliknya, malah mendukung kelaikan pesawat tersebut. Hal itu pun menjadi indikasi kuat melemahnya -bila tak ingin disebut rusak- pengaruh FAA di kancah industri penerbangan global.
Tak hanya itu, dari pidato Deputi Direktur CAAC, Li Jian, indikasi bahwa Beijing sudah tak sabar ingin segera merengkuh posisi FAA di kancah penerbangan global jelas terlihat. Dihadapan wartawan, Li menjelaskan “Mereka (Boeing) mengalami kesulitan membuat keputusan, jadi kami yang memimpin.”
CAAC sendiri mempunyai dasar kuat mengapa mereka memimpin dunia untuk melarang peredaran Boeing 737 MAX. Mereka berdalih, pilot-pilot maskapai Cina yang selama ini menerbangkan 737 MAX sudah mengendus adanya masalah pada fitur Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver (MCAS) dan sensor angle-of-attack (AoA). Celakanya, masalah tersebut bukan sekali atau dua kali melainkan sudah cukup sering dialami.
Permasalah tersebut (masalah pada MCAS dan AoA) membuat pesawat stall dan kemudian menukik tajam tanpa bisa dihentikan oleh pilot karena sistem salah membaca ketinggian dan kecepatan pesawat. Pada akhirnya, dalil yang dijadikan dasar CAAC memblokade Boeing 737 MAX terbukti dan sama persis dengan hasil penyelidikan FAA.
Namun, di balik pernyataan logis CAAC, tetap saja, patut diduga bahwa Cina memang tengah berupaya melampaui AS dalam berbagai hal; termasuk pengaruh kebijakan pesawat sipil di dunia yang selama ini dikuasai FAA.
Intinya, ada faktor politik -terlebih tensi AS-Cina memang tengah memanas akibat kebijakan perang dagang- dibalik keputusan CAAC memimpin blokade global Boeing 737 MAX. Setidaknya itulah yang dikatakan Neil Hansford, seorang konsultan penerbangan di Strategic Aviation Solutions, Sydney, Australia.
Baca juga: Mengekor FAA, Qantas dan Virgin Australia Larang MacBook Pro 15-inch Masuk Kargo
Ia juga mengungkap, FAA sebetulnya bisa saja bersikap tegas terhadap kasus serupa bila melibatkan produsen asal Eropa, Airbus. “Tidak sulit berada di depan FAA. Jika ini adalah pesawat Airbus, FAA akan mengatasinya,” jelasnya.
Kendati demikian, Li menegaskan, bahwa perang dagang Amerika Serikat dan Cina merupakan hal lain serta tidak berkenaan langsung dengan keputusan CAAC. Jika sudah demikian, akankah Cina berhasil menggantikan peran FAA dikancah penerbangan sipil global? Menarik ditunggu.