GE dan Safran, perusahaan dirgantara asal Amerika Serikat (AS) dan Perancis, melalui anak perusahan patungan keduanya, CFM International, meluncurkan desain mesin turbin gas baru dengan rotor terbuka (open rotor engine).
Baca juga: Inilah Tiga Konsep Pesawat Bertenaga Hidrogen Airbus, Beroperasi Penuh Mulai 2035
Mesin rotor terbuka disebut sebagai masa depan penerbangan berkelanjutan atau ramah lingkungan. Teknologi mesin rotor terbuka (tanpa ditutup nacelle, layaknya pesawat propeller) dinilai lebih kompatibel dengan bahan bakar dengan biofuel atau hidrogen. Tak hanya itu, mesin ini juga memungkinkan beroperasi dengan listrik hibrida (hybrid).
CEO GE Aviation, John Slattery, mengatakan mesin dengan total 12 bilah kipas berputar dan 12 bilah kipas fixed (stator) tersebut mampu mengurangi pembakaran bahan bakar (lebih efisien) sampai setidaknya 20 persen, menjadi solusi tantangan dekarbonisasi di masa mendatang.
Namun, menurut CEO Safran, Olivier Andries, efisiensi mesin dalam mengurangi bahan bakar sampai 20 persen belumlah cukup.
Disebutkan, di masa mendatang, pesawat generasi berikutnya harus bisa mengurangi emisi sampai 90 persen, dengan rincian 40 persen dari mesin berteknologi mutakhir dan teknologi pada badan pesawat (seperti teknologi kulit ikan hiu Lufthansa), 40 persen dari penggunaan bahan bakar berkelanjutan atau ramah lingkungan, dan 10 persen dari efektivitas arus lalu lintas udara dan bandara.
Bila tak ada aral melintang, laporan Seattle Times, mesin rotor terbuka bisa beroperasi bersama pesawat maskapai tahun 2030 mendatang. Tetapi, itu mungkin akan molor mengingat tarik ulur politik trans-nasional antara AS-Eropa melalui Boeing-Airbus.
Tahun lalu, Airbus menegaskan komitmennya untuk memproduksi pesawat komersial ramah lingkungan (bebas emisi) bertenaga hidrogen pertama di dunia pada 2035 mendatang. Tak tanggung-tanggung, Airbus meluncurkan tiga konsep pesawat ramah lingkungan sekaligus yang diberi kode nama ZEROe, yaitu Turbuprop, Turbofan, dan Blended-Wing Body.
Untuk mewujudkan target pesawat hidrogen Airbus mengudara tahun 2035, Faury melanjutkan, dibutuhkan dukungan dari pemerintah, perusahaan terkait, serta ekosistem industri penerbangan seluruh dunia.
Aliansi Hidrogen Bersih Eropa (ECHA) sendiri dikabarkan bakal menggelontorkan dana sebesar €430 miliar atau setara Rp7.451 triliun (kurs 17.270) untuk membantu meningkatkan rantai pasokan hidrogen di seluruh dunia.
Bila tak ada aral melintang, target Airbus tersebut 15 tahun lebih cepat dari prediksi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), dimana industri penerbangan global baru bisa mewujudkan 100 persen penerbangan ramah lingkungan pada 2050 mendatang. Bila hal itu terjadi, emisi yang dihasilkan transportasi udara bakal turun sebesar 63 persen.
Berbeda dengan Airbus, Boeing justru pesimis dengan penerbangan ramah lingkungan berbasis pesawat bertenaga hidrogen.
Boeing mengaku tak yakin bahwa hidrogen akan menjadi bahan bakar pesawat di masa depan. Agar tetap berkontribusi terhadap program keberlanjutan atau sustainability goals, sebagai gantinya, Boeing akan mencari cara lain.
Baca juga: Boeing Tak Yakin Konsep Pesawat Bertenaga Hidrogen, Sindir Airbus?
Pihaknya juga menegaskan komitmen untuk membuat pesawat komersial 100 persen menggunakan berbahan bakar ramah lingkungan pada 2030 mendatang, meski tak disebut detail bahan bakar ramah lingkungan apa yang dimaksud.
CEO Boeing, David David Calhoun, mengungkapkan bahwa para pelaku bisnis dirgantara merasa bahwa industri masih jauh dari kata siap untuk mengembangkan teknologi ini.