Singapore Airlines (SIA) mencatat kerugian sebesar US$3,2 miliar atau sekitar Rp46 triliun (kurs 14.454), turun 76 persen dibanding tahun sebelumnya, sepanjang 12 bulan pada periode Maret 2020 sampai Maret 2021. Itu karena, flag carrier nasional Singapura itu kehilangan penumpang sekitar 97,9 persen akibat pembatasan perjalanan.
Baca juga: Selamatkan Singapore Airlines, Temasek Suntikan Dana Rp218 Triliun
Angka kerugian tersebut sebetulnya bisa saja lebih besar andai pendapatan maskapai dari penerbangan kargo tidak tumbuh. Seperti diketahui, selama pandemi, pendapatan dari penerbangan kargo justru meningkat sebesar 38,8 persen menjadi US$2 miliar atau sekitar Rp28 triliun (kurs 14.454).
Hanya saja, penerbanga kargo memang tak berkontribusi banyak untuk operasional pesawat, termasuk pengaruhnya terhadap kinerja keuangan.
Di artikel sebelumnya, redaksi KabarPenumpang.com sudah membahas bahwa sumber penghasilan terbesar maskapai, 75 persen di antaranya datang dari penumpang. Adapun sisanya, 15 persen datang dari muatan kargo dan 10 persen lagi dari bisnis lainnya, salah satunya iklan.
Dengan hitungan seperti itu, praktis maskapai tak punya pilihan lain kecuali mengejar load factor tinggi. Khususnya bagi maskapai berbiaya rendah atau LCC yang pada umumnya menjual tiket murah dengan berharap banyak pada tingginya load factor.
Adapun maskapai lainnya dengan reputasi tinggi pada layanan seperti Singapore Airlines, mungkin load factor tidak selalu menjadi satu-satunya andalan, mengingat, mereka mengambil margin yang cukup besar pada layanan yang ditawarkan. Namun, kembali lagi, dengan 75 persen pendapatan datang dari penumpang, load factor rendah tetap saja akan sangat mempengaruhi.
Selain penurunan pendapatan, SIA juga mencatat kerugian akibat mempensiunkan dini banyak armadanya. Laporan Simple Flying, setidaknya ada 45 pesawat berbagai tipe yang sudah dipensiunkan SIA sebelum waktunya; termasuk tujuh Airbus A380, empat 777-200ER, empat 777-300ER, delapan 737-800, beberapa A330, dan berbagai pesawat lainnya, menyisakan 162 jet penumpang dan tujuh pesawat kargo.
Sebagai gantinya, maskapai akan lebih fokus untuk merevitalisasi pesawat dan memaksimalkan pesawat-pesawat generasi terbaru yang lebih efisien, seperti Boeing 787 dan Airbus A350.
Untuk menutupi seluruh kebutuhan maskapai, baik menanggung kerugian tahun lalu maupun strategi bisnis ke depan, SIA berencana mencari pembiayaan sebesar US$4,6 miliar atau Rp66 triliun (kurs 14.454) melalui obligasi.
Baca juga: Semester Pertama 2020, Trafik Perjalanan Singapore Airlines Anjlok 98,9 Persen
Anjloknya traffic penumpang dan kerugian SIA sebetulnya bukan hal aneh. Maskapai lain juga merasakan hal serupa akibat pandemi virus Corona.
Hanya saja, SIA memang sangat wajar untuk menerima kerugian yang lebih besar dibanding maskapai lainnya. Sebab, SIA tidak punya pangsa pasar domestik mengingat luas wilayahnya yang teramat kecil dan sangat tergantung dengan posisinya sebagai hub Asia, khususnya Asia Tenggara.