Garuda Indonesia dilaporkan telah menyiapkan usulan perpanjangan waktu pelunasan Trust Certificates “Garuda Indonesia Global Sukuk Limited” senilai US$500 juta atau setara Rp7,5 triliun (kurs Rp15.000/US$) yang akan jatuh tempo pada tanggal 3 Juni 2020 mendatang.
Baca juga: Dapat Suntikan Rp8,5 Triliun, Garuda Tak Jadi Terancam Bangkrut?
Dari keterangan tertulis yang diterima KabarPenumpang.com, usulan perpanjangan waktu pelunasan global sukuk yang akan jatuh tempo tersebut diajukan untuk jangka waktu minimal tiga tahun ke depan. Selain itu skema tersebut akan disampaikan melalui proposal permohonan persetujuan (consent solicitation) kepada pemegang sukuk (sukukholder), melalui Singapore Exchange (SGX) dengan informasi keterbukaan di Indonesia Stock Exchange (IDX) dan kepada ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian, pertanyaan pun muncul, bagaimana ketika usulan Garuda Indonesia ditolak?
Beberapa pihak menyebut, bila negosiasi gagal, praktis, Garuda Indonesia mau tak mau harus membayar kewajiban utang. Jika benar demikian, perusahaan dengan kode GIAA di bursa saham itu memang disebut sudah mendapat pinjaman dari pemerintah sebesar Rp8,5 triliun. Itupun, menurut salah satu sumber, dananya belum diterima oleh GIAA. Padahal terlepas dari pembayaran utang, dana sebesar itu tentu saja akan sangat bermanfaat untuk operasional sehari-hari yang sedang dalam terseok-seok.
Disebut berseok-seok mengingat perusahaan penerbangan nasional kebanggaan masyarakat Indonesia ini sudah mulai merumahkan karyawan, sekalipun karyawan kontrak. Padahal, beberapa bulan yang lalu, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Saputra, sempat berikrar tidak akan melakukan PHK karena satu dan lain hal. Pada akhirnya, beberapa bulan kemudian, ketika iklim industri penerbangan semakin memburuk, Irfan mulai mengungkap adanya opsi PHK sekalipun itu menjadi opsi terakhir, setelah melakukan sejumlah langkah penyelamtan. Ketika, opsi terakhir dijalankan, tentu ini menjadi sebuah pertanda negatif.
Bahkan, menurut sebuah sumber yang tak ingin disebutkan namanya, bila kondisi tak kunjung membaik plus dana talangan dari pemerintah juga tak kunjung cair, skema lanjutan disebut sudah dipersiapkan dan salah satunya adalah pengurangan karyawan, khususnya karyawan di atas 50an tahun. Bila kondisi semakin memburuk dan berlarut-larut dalam waktu tak sebentar, bukan tak mungkin Garuda Indonesia akan bernasib sama dengan Thai Airways, meskipun menurut pengamat penerbangan, Ridha Aditya Nugraha kemungkinan flag carrier di Asia collapse sangat kecil karena sentimen nasionalisme yang tinggi.
Sebelumnya, maskapai penerbangan Thai Airways dilaporkan akan melakukan restrukturisasi dengan bantuan pemerintah. Restrukturisasi diperlukan untuk menyelamatkan BUMN Thailand itu dari ancaman bangkrut akibat pandemi virus corona. Dilansir CNN.com, Thai Airways mengumumkan pemerintah telah menyetujui proposal terkait restrukturisasi besar-besaran yang akan diawasi Pengadilan Kepailitan Pusat Thailand. Langkah ini diambil untuk mencegah pembubaran perusahaan, dipaksa likuidasi, atau dinyatakan bangkrut.
Kementerian Keuangan Thailand dan bank milik negara tercatat memiliki saham mayoritas di perusahaan penerbangan ini. Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha mengatakan kabinetnya menimbang beberapa opsi untuk maskapai Thai Airways yang terdampak covid-19, termasuk melakukan likuidasi.
Senada dengan Thai Airways, mayoritas saham Garuda Indonesia, yakni sebesar 60,536 persen juga dikuasai oleh negara. Beberapa pihak menyebut, dengan kepemilikan saham mayoritas oleh negara, otomatis perusahaan tidak akan bangkrut. Sebab, bila perusahaan bangkrut, negara juga dalam keadaan bangkrut dan itu mustahil terjadi.
Pada faktanya, khusus kasus BUMN di Indonesia, Jiwasraya misalnya, meskipun bukan bagian dari perusahaan penerbangan, hingga kini memiliki sejumlah kewajiban utang dalam jumlah besar kepada beberapa pihak dan perusahaan tersebut juga pelat merah. Jadi, menarik ditunggu, akankah Garuda Indonesia mendapatkan relaksasi utang atau mau tak mau wajib membayar utang pada 3 Juni mendatang hingga semakin memperberat langkah perusahaan untuk bertahan hidup?