Garuda Indonesia rugi sebesar US$ 4,16 miliar atau sekitar Rp 62,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.993/US$) sepanjang tahun 2021. Angka tersebut naik signifikan dari kerugian di tahun sebelumnya sebesar US$ 2,44 miliar.
Baca juga: Pesawat Lepas Landas dalam Kondisi Suhu Tinggi, Ternyata Bikin Maskapai Merugi
Terlepas dari kerugian besar maskapai pelat merat itu yang terjadi akibat pandemi Covid-19, maskapai penerbangan pada dasarnya memang sulit untuk mencapai keuntungan. Hanya segelintir maskapai yang untung. Setidaknya, ada empat alasan mengapa maskapai selalu sulit untung dan sebaliknya selalu rugi. Dilansir Forbes, berikut selengkapnya.
1. Gengsi tutup maskapai rugi
Perusahaan yang sudah bertahun-tahun rugi sudah pasti akan ditutup atau dipailitkan. Namun, tidak demikian dengan maskapai penerbangan. Terlebih itu adalah maskapai penerbangan nasional seperti Garuda Indonesia.
Menutup atau mempaillitkan maskapai penerbangan sudah pasti akan menimbulkan PHK besar-besaran, menyusahkan traveler atau royal customer maskapai, dan kerugian besar bagi kreditur.
Secara politik, menutup maskapai penerbangan, terlebih itu maskapai nasional, juga menjadi kerugian sendiri bagi citra penguasa di mata oposisi dan rakyat pada umumnya. Lebih dari itu, citra negara di mata dunia juga tercoreng karena tidak lagi sanggup mempertahankan flag carrier.
2. Fixed and variable costs tinggi
Harga satu pesawat mencapai triliunan rupiah dan itu sangat mahal. Karenanya, maskapai umumnya memillih untuk menyewa pesawat ketimbang beli. Meskipun begitu, biaya sewa juga tak kalah mahal dibanding membeli pesawat secara cash.
Selain itu, berbagai komponen lainnya juga menunut maskapai untuk berkocek besar, seperti SDM, office, Avtur, dan lain sebagainya.
3. Sangat tergantung dengan faktor eksternal
Industri penerbangan rentan dengan faktor eksternal, seperto terorisme, letusan gunung berapi, dan lain sebagainya yang mempengaruhi operasi penerbangan. Pada tahun 2010 lalu, misalnya, maskapai penerbangan global rugi sampai US$2 miliar akibat penutupan ruang udara Eropa imbas letusan gunung berapi di Islandia.
Selain itu, faktor eksternal lainnya yang menyebabkan kecelakaan pesawat juga menyebabkan maskapai harus menanggung beban sangat besar, termasuk untuk kompensasi ke ahli waris penumpang.
Baca juga: Mengenal Foreign Object Damage, Insiden yang Rugikan Maskapai Rp185 Triliun Setahun
4. Reputasi layanan yang rumit di industri penerbangan
Sudah jadi informasi umum bahwa penumpang harus melewati prosedur keamanan yang panjang sebelum naik pesawat. Layanan ini dilakukan secara kolektif oleh operator bandara dan pihak maskapai.
Sering kali, kesalahan saat proses pre-flight sampai boarding diindentikkan dengan maskapai dan beban-beban biaya yang ditanggung penumpang, seperti airport tax juga dimasukkan ke dalam harga tiket. Dengan begitu, pengalaman buruk itu akan berdampak langsung pada citra maskapai.