Dewasa ini, semua bentuk pembayaran sudah mulai berevolusi menggunakan kartu, termasuk untuk membayar sebuah jasa transportasi. Sebut saja KRL, dan TransJakarta sudah mulai mengadopsi sistem pembayaran bersifat modern tersebut. Cukup dengan mengisi saldo pada kartu Anda di outlet-outlet penjualan, maka secara otomatis saldo tersebut akan bertambah sesuai dengan jumlah yang Anda beli. Sistem seperti ini tentu saja dapat meredam antrian pada moda-moda transportasi dan akan lebih efisien ketimbang menggunakan sistem loket.
Tapi, bukan berarti dengan menggunakan program e-ticketing bebas dari yang namanya masalah, baik internal maupun eksternal. Permasalahan internal yang sering dijumpai dalam sistem e-ticketing adalah kesalahan pada data yang disebabkan oleh sistem komputer, namun permasalahan tersebut bukanlah menjadi suatu perkara serius karena dapat diselesaikan dengan cara menghubungi operator. Namun, permasalahan eksternal ini yang dapat memberikan kerugian, bukan hanya pada calon penumpang, tapi juga pada penyedia jasa transportasi tersebut.
Tersedianya layanan e-ticketing memang tidak selalu berjalan mulus, contohnya PT KAI yang memberlakukan sistem ini terhadap salah satu transportasi andalannya di ibu kota, KRL. Membludaknya penumpang kala rush hour memang memberikan imbas sendiri terhadap sistem yang diterapkan oleh PT KAI pada tahun 2013 ini. Banyaknya penumpang yang antri di depan gate in membuat perjalanan penumpang sedikit terhambat. Ditambah lagi dengan banyaknya orang yang nyelonong, menjadi suasana di depan gate in semakin runyam. Belum lagi ada oknum yang mekalukan dorongan dari belakang hingga mengakibatkan palang besi gate in patah, dan ketidaksabaran penumpang yang terlambat dengan men-tap 2 kartu secara bersamaan dengan penumpang lainnya akan membuat mesin gate in error sehingga berdampak pada antrean yang semakin mengular.
Lain halnya dengan PT ASDP Indonesia Ferry, dalam melayani penyebrangan Merak – Bakauheni, ASDP juga kerap kali mendapati oknum-oknum yang berusaha untuk bermain curang dengan sistem e-ticketing yang berlaku. Menurut data yang diperoleh dari salah satu mitra ASDP di lapangan, Ia menemukan beberapa kecurangan yang akhirnya berdampak pada masalah di kedua elemen, baik penumpang maupun pihak penyedia jasa itu sendiri.
Masalah yang paling sering muncul adalah sistem tiket berputar. Sistem ini merupakan kecurangan yang dilakukan oleh oknum kru kapal ini marak dipraktikkan dalam kurun waktu 3 tahun ke belakang. Tiket resmi berupa kartu yang dibeli di loket berisikan data penumpang yang diambil dari kartu identitasnya. Tiket berupa kartu tersebut lalu mesti disetorkan calon penumpang kepada kru kapal yang nantinya akan memvalidasi tiket tersebut dengan cara memasukkan tiket ke dalam sebuah mesin yang biasa disebut dispenser. Namun, praktik kecurangan bermula ketika kru kapal tidak memvalidasi kartu tersebut, tapi malah menjualnya kembali kepada calon penumpang lain. Dengan kecurangan seperti ini, tentu saja penyebrangan dari Merak menuju Bakauheni menjadi tidak aman bagi keselamatan, bagaimana tidak, dengan adanya praktik ini, kapal ferry menjadi overload dan memungkinkan terjadinya kecelakaan.
Sementara masalah pada sistem e-ticketing di TransJakarta sedikit berbeda dengan kedua kasus di atas. Masalah tersebut muncul ketika mengisi ulang kartu atau top up, ada beberapa kasus penumpang yang mengeluhkan hal tersebut dan diminta untuk membeli kartu baru oleh petugas di lapangan. Selain itu, pemberlakuan sistem e-ticketing di TransJakarta sejak tahun 2014 silam memberikan sedikit masalah bagi pendatang yang tidak memiliki tiket elektronik tersebut. Penumpang TransJakarta yang tidak memiliki e-ticket diwajibkan untuk membelinya terlebih dahulu di halte seharga Rp40.000 dengan saldo Rp20.000. Hal ini menjadi pertimbangan para pelancong yang datang ke ibu kota dalam waktu yang sebentar, niat menggunakan TransJakarta yang relatif murah terpaksa bayar mahal untuk membeli e-ticket, atau bahkan lebih memilih untuk mengunakan moda lain.