Dugaan suap menjadi alasan maskapai pelat merah, Garuda Indonesia, menunda kedatangan empat pesawat Airbus. Meski tak menyebutkan dengan jelas empat pesawat yang ditunda, dari catatan backlog Airbus, Garuda Indonesia masih memiliki sembilan A330Neo yang belum dikirim.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan dugaan suap yang terjadi bukan hanya menyangkut Indonesia, melainkan ada beberapa negara lainnya. Dirunut ke belakang, pernyataan Irfan memang sangat berdasar.
Pada Jumat, 31 Januari 2020 lalu, Jaksa Penuntut di Perancis, Jean-Francois Bohnert, mengatakan Airbus telah menyerahkan uang gelap melalui dua anak perusahaannya yang dikendalikan secara diam-diam. Uang suap itu digunakan untuk mendorong bisnisnya di 16 negara.
Dari 16 negara itu, tak disebutkan dengan jelas negara mana saja. Namun santer disebut, Airbus memberi suap ke Sri Lanka, Malaysia, Taiwan, Ghana, dan Indonesia; termasuk berbagai persoalan di tiga negara, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat (AS). Dalam catatan Irfan, persoalan di ketiga negara tersebut sudah diselesaikan dimana Airbus membayar total 3,6 miliar Euro.
“Airbus sudah bayar 3,6 miliar Euro ke tiga negara. Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris,” ungkapnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Selasa (14/7).
Terinspirasi dari upaya tuntutan yang dilakukan ketiga negara tersebut, Irfan menyebut pihaknya juga akan menuntut Airbus atas dugaan kasus pengadaan pesawat.
Kasus pengadaan pesawat tersebut diketahui sudah terjadi sejak 2011-2015 lalu, sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum Airbus dalam mempertahankan bisnis di 16 negara (seperti yang telah disebutkan di atas), dimana Airbus terlibat memberi suap untuk memuluskan pembelian pesawat.
Suap kepada pejabat di Indonesia diduga diterima oleh mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar. Pada 8 Mei 2020, Emirsyah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan pidana pencucian uang. Untuk itu, GIAA telah menyiapkan beberapa strategi dalam upaya menuntut Airbus secara hukum.
“Kami lagi proses litigasi minta ganti kerugian lewat pemerintah Inggris dengan bantuan Kemenkumham menyampaikan surat. Memang harus diakui Airbus ada proses bribery tidak fair waktu belinya,” jelasnya.
Akan tetapi, terlepas dari dugaan suap dibalik penundaan pesawat Airbus kepada Garuda Indonesia, dari sisi bisnis, perusahaan memang sudah tak lagi menampung datangnya pesawat baru, mengingat Garuda mengalami penurunan volume penumpang hingga 90 persen.
Baca juga: Dirut Garuda Indonesia: “Tidak Ada PHK Massal di Tengah ‘Badai’ Virus Corona”
Di samping itu, lemahnya kinerja keuangan juga membuat Garuda Indonesia terpaksa harus merestrukturisasi leasing pesawat -selain menunda pembayaran hutang jatuh tempo- dengan mencari leasing yang menawarkan harga lebih murah, memperpanjang periode peminjaman, hingga mengakhiri kontra yang tidak cocok.
Saat ini, 12 lessor dikabarkan sudah setuju perihal restrukturisasi, enam menolak, dan 13 lessor lainnya masih dalam proses negosiasi. Selain menunda kedatangan empat pesawat Airbus, Garuda Indonesia juga menunda kedatangan 49 Boeing 737 Max series.