Demo massa terkait RUU Ekstradisi yang terjadi di Hong Kong hingga kini masih mengalami pasang surut – kadang memanas, kadang landai. Namun satu yang pasti, demo ini sudah hampir berjalan lima bulan dan telah merugikan banyak pihak. Di sini, maskapai terbesar di Hong Kong, Cathay Pacific menjadi perusahaan yang cukup banyak menyumbang demonstran, sekaligus menjadi salah satu perusahaan yang tak luput dari protes massa yang mencapai ribuan personil tersebut. Namun siapa sangka bahwa demo ini bisa membawa Cathay ke ambang kehancuran?
Confederation of Trade Unions (CTU) atau konfederasi serikat buruh sebelumnya telah menyuarakan protes mereka di hadapan markas besar Cathay. Protes ini berlangsung setelah pemberitaan tentang pemutusan hubungan kerja dari ketua Hong Kong Dragon Airlines Flight Attendants’ Association, Rebecca Sy. Lalu, mengapa pemberhentian hubungan kerja Rebecca ini bisa menjadi satu pemicu ampuh untuk meruntuhkan kejayaan Cathay Pacific?
Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman simpleflying.com (26/8), aksi massa yang memprotes pemberhentian hubungan kerja Rebecca ini hanyalah segelintir dari variabel yang bisa menggiring Cathay Pacific ke ambang kehancuran. Bagaimana tidak, seperti yang sudah disinggung di atas, maskapai yang tergabung di dalam aliansi penerbangan Oneworld ini merupakan salah satu penyumbang massa terbesar dalam aksi protes terhadap RUU Ekstradisi ini – diperkirakan lebih dari 2.300 karyawan Cathay Pacific telah bergabung dalam aksi protes, diantaranya 1.200 orang merupakan pilot dan awak kabin.
Bukan tidak mungkin jika seorang penting seperti Rebecca ini akan turut ‘menyerap’ karyawan Cathay untuk tidak mengabdi lagi kepada pihak perusahaan.
Belum lagi putusan pihak maskapai untuk menangguhkan penjualan tiket penerbangan dari Hong Kong International Airport – markas dari Cathay Pacific yang terjadi pada kisaran minggu ketiga bulan Agustus kemarin.
Faktor lain yang juga bisa ‘menenggelamkan’ Cathay Pacific adalah fakta bahwa 24 destinasi domestik Cathay Pacific adalah menuju Cina daratan – seperlima dari semua penerbangan yang dilayani oleh Cathay. Mengutip dari laman South China Morning Post, jalur Cina dan Hong Kong menghasilkan lebih dari setengah pendapatan Cathay Pacific pada 2018 – yaitu HK$57 miliar dari total pendapatan keseluruhan Cathay Pacific yang mencapai HK$111 miliar.
Ditambah dengan ketakutan awak kabin untuk mengudara ke Cina daratan, dimana seorang diantaranya (yang ingin tetap anonim) mengungkapkan bahwa penggeledahan yang dilakukan oleh otoritas Cina daratan meninggalkan kesan buruk kepadanya.
Mengutip dari laman sumber lain, saham Cathay Pacific pun sudah jelas mengalami penurunan. Dibukukan pada 12 Agustus 2019 kemarin, saham Cathay terjun bebas lebih dari empat persen – dimana kondisi ini mendekati level terendah saham maskapai dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Baca Juga: Situasi Tak Kunjung Kondusif, Cathay Pacific Tangguhkan Penjualan Tiket di Hong Kong
Saham Cathay Pacific anjlok ke level 9,82 dollar Hong Kong pada sesi awal perdagangan. Ini merupakan level terendah sejak Oktober 2018 dan hampir mencapai level terburuk sejak krisis keuangan global pada 2009.
Para analis yang enggan acuh terhadap carut marut masalah RUU Ekstradisi ini mengatakan bahwa penurunan saham ini juga akan berpengaruh terhadap, “penerbangan ke Eropa, dan tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh juga terhadap penerbangan maskapai ke Amerika, karena mereka terbang di wilayah udara Cina,” terang analis.
Kalau sudah seperti ini, berapa lama Cathay Pacific akan mampu bertahan menerpa badai bertubi RUU Ekstradisi?