Sebagian dari avgeek mungkin pernah mendengar penerbangan hantu atau ghost flight, baik sebelum maupun sesudah pandemi Covid-19. Lantas, sebetulnya, apa yang menyebabkan maskapai harus melakoni penerbangan hantu?
Baca juga: Apa Itu Landing Slot Bandara, yang Bikin Maskapai Rusia Rugi Rp1 Triliun Gegara Inggris?
Adanya penerbangan hantu atau ghost flight tak lepas dari adanya slot bandara atau landing slot. slot di bandara atau slot bandara sendiri adalah fasilitas untuk mendarat, menurunkan penumpang, mengisi bahan bakar, mengambil penumpang baru dan kemudian lepas landas lagi yang semuanya sudah ditentukan dan diatur kerangka waktunya.
Mekanisme dan kerangka bisnis slot bandara diatur oleh Worldwide Airport Slot Guidelines (WASG), dibantu dengan pedoman dari IATA dan Airports Council International (ACI).
Slot bandara ini harus diupdate setiap enam bulan sekali untuk penerbangan internasional. Adapun penerbangan domestik bisa berbeda-beda tergantung regulator.
Selain harus meng-update slot bandara setiap enam bulan, maskapai juga harus berhasil menggunakan setidaknya 80 persen slotnya. Bila berhasil, maka maskapai diizinkan untuk mempertahankan slot pada musim berikutnya. Sistem ini dikenal sebagai “grandfather rights”. Dalam kamus Komisi Eropa dan Administrasi Penerbangan Federal (FAA) di Amerika Serikat ini dikenal sebagai aturan “use it or lose it”.
Selama pandemi Covid-19, slot bandara dikurangi dari 80:20 menjadi 50:50. Namun, seiring pandemi global yang mulai membaik, aturan grandfather rights terkait landing slot dinaikkan menjadi 70:30. Ini yang pada akhirnya membuat penerbangan hantu kembali marak.
Dilansir Simple Flying, CEO Lufthansa, Crasten Spohr, mengungkapkan sedikitnya Lufthansa Group melakukan 18 ribu penerbangan hantu akibat aturan “grandfather rights” atau “use it or lose it” dan menyumbang persentase total penerbangan hantu cukup besar sepanjang musim dingin lalu.
Laporan Greenpeace, ada sekitar 100 ribu penerbangan hantu di Eropa sepanjang musim dingin. Meski hanya ratusan ribu, namun emisi karbon yang dihasilkan sekitar 2,1 juta ton atau setara dengan lebih dari 1,4 juta emisi yang dihasilkan mobil per tahun.
Angka tersebut dinilai berdampak besar pada persentase total karbon dioksida dari sektor transportasi udara. Terlebih, sektor ini setiap tahun terjadi kenaikan sekitar 4 persen dari 8 persen saat ini.
Dengan berbagai fakta tersebut, sejumlah pihak yang dimotori oleh Greenpeace pun membuat petisi untuk mengakhiri penerbangan hantu di sektor penerbangan. Setidaknya butuh sekitar 100 ribu tanda tangan sampai 14 Juli untuk memastikan isu tersebut dibawa ke parlemen Eropa.
Penerbangan hantu sebetulnya bukan masalah besar bagi CEO Grup Ryanair, Michael O’Leary. Menurutnya, Lufthansa bisa saja mengakhiri itu dengan cara menjual kursi dengan harga murah. Dengan begitu dijamin penumpang akan memenuhi seluruh kursi yang dijual.
Baca juga: Mungkinkah Refund dan Kompensasi Maskapai ke Penumpang Dibuat Otomatis?
“Lufthansa suka menangis air mata buaya tentang lingkungan ketika melakukan segala kemungkinan untuk melindungi slotnya,” katanya.
Tak terima pernyataan yang menyudutkannya, CEO Luftahnsa kemudian menyerang balik O’Leary dengan menyebut Ryanair telah menjual tiket pesawat dengan harga yang tak wajar. Ini dinilai merugikan ekosistem bisnis maskapai.