Garuda Indonesia disebut sudah bangkrut atau pailit sebagai sebuah korporasi. Saat ini, maskapai pelat merah itu sedang susah sekali. Kendati demikian, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, dalam sebuah dialog di stasiun televisi nasional, menjamin bahwa Garuda akan tetap terbang setidaknya sampai tiga bulan ke depan.
Baca juga: Menteri Agama Tiadakan Haji, Garuda Indonesia ‘Paling Kecil’ Rugi Rp3,3 Triliun
Meski demikian, itu mungkin terjadi berkat solusi jangka pendek dari manajemen dan owner dalam hal ini pemerintah. Tetapi, dalam jangka panjang, harus ada langkah-langkah komprehensif yang harus diambil. Terlebih, Garuda Indonesia bak orang yang positif Covid-19 dan diperparah dengan adanya komorbid atau dosa-dosa manajemen sebelumnya.
Untuk itu, disarikan KabarPenumpang.com dari diskusi yang digelar Intipesan Institute bertajuk “Dialog Manejemen Garuda Indonesia”, berikut enam dosa Garuda Indonesia dari masa ke masa.
1. Pengadaan pesawat
Pengadaan pesawat selalu menjadi ‘lahan basah’ bagi petinggi Garuda Indonesia. Sebab, bukan sekali-dua kali indikasi mark up harga terjadi. Pada 1988-1992, maskapai membeli pesawat Airbus A330-300. Ketika itu terjadi mark up harga dari 140 juta dolar AS menjadi 214 juta dolar AS.
2. Buruknya strategi bisnis
Menurut Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, pengadaan ratusan pesawat di masa lalu untuk rute-rute internasional sangat over confidence. Sekalipun marketnya ada, namun, strateginya tentu tak semudah membalikkan telapak tangan mengingat maskapai lain sudah lebih mapan
Selain itu, buruknya strategi bisnis juga mencakup beragamnya penggunaan tipe pesawat, pemilihan rute, harga tiket, dan sebagainya.
3. Nilai tukar mata uang
Nilai tukar selama ini kerap menjadi momok. Bagaimana tidak, pendapatan perusahaan dengan rupiah namun cost menggunakan dolar AS, mulai dari spare part dan sampai utang. Sekalipun ada kemungkinan menguat, yang terjadi sering kali rupiah melemah terhadap dolar AS. Jangankan ratusan, rupiah melemah belasan apalagi sampai puluhan persen saja sudah pasti, kata Enny, membuat Garuda terkapar hebat.
Masalah yang sama juga terjadi pada utang jangka pendek dan panjang maskapai yang cenderung tak memperhatikan nilai tukar, serta penyewaan pesawat ke leasing. Dalam dialog tersebut, pengamat BUMN, Toto Pranoto, membeberkah bahwa cost terbesar perusahaan 75 persennya datang dari leasing.
4. Inefisiensi manajemen
Menurut dosen Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, Desmon Ismael, jumlah direksi Garuda Indonesia terlalu banyak. Selain itu, sistem corporate governance juga tidak jelas, entah itu menganut one tier, two tier, atau sistem CEO CFO dan COO.
Menurutnya, direksi seharusnya tiga saja, dimana, sesuai dengan undang-undang, salah satunya ditunjuk sebagai Direktur Utama. Demikian juga dengan komisaris, terutama keberadaan komisaris independen, sangat tidak efisien. Ini pada akhirnya membuat struktur problem semakin parah.
5. Laporan keuangan
Dari laporan keuangan, menurut Enny, jelas dan clear bahwa Garuda Indonesia mengalami problem sistemik yang harus segera diselesaikan.
Baca juga: Bila Garuda Indonesia Sampai Dipailitkan, Berkaca dari Kasus Sabena dan Swissair
6. Salah pilih Dirut dan campur tangan pemerintah
Sebagai sebuah BUMN, Garuda Indonesia selalu mengalami apa yang disebut sebagai principal agency problem. Menurut Meneg BUMN 2004 hingga 2007, Dr. Sugiharto, problem tersebut membuat pemilihan BOD dan komisaris tidak sesuai dengan kapasitasnya dan cenderung politis.
Demikian juga terhadap kebijakan perusahaan, seperti penetuan tarif haji yang tidak seusai dengan hitung-hitungan bisnis dan lain sebagainya.