Jika Garuda Indonesia Group punya Citilink sebagai maskapai berbiaya murah, maka begitu pun dengan Qantas, dimana maskapai nasional Australia itu punya JetStar yang menjadi low cost carrier (LCC). Seperti halnya Citilink, maka JetStar juga dikenal luas melayani penerbangan berjadwal internasional, termasuk (sebelum pandemi) menjadi maskapai internasional yang masif melayani rute ke Denpasar, Bali.
Baca juga: AirAsia X Vs Scoot Vs Jetstar, Siapa yang Terbaik?
Uniknya, dalam waktu kurang dari 20 tahun, JetStar telah menjelma sebagai salah satu maskapai penerbangan berbiaya rendah paling sukses di dunia. Dalam prosesnya, Qantas telah memberikan akses master yang sangat menguntungkan bagi eksistensi JetStar, salah satunya dengan melayani penerbangan ke 40 tujuan di sepuluh negara.
JetStar sendiri bukan maskapai berbiaya rendah pertama di Australia, LCC pertama di Negeri Kanguru adalah Virgin Blue. Namun Jetstar adalah maskapai penerbangan bertarif rendah paling sukses di Australia. Sejak penerbangan pertamanya pada tahun 2004, JetStar telah diuntungkan dengan adanya Qantas di belakangnya, berbeda dengan kasus di negara lain, maskapai ini selalu hidup berdampingan dengan nyaman dan mampu memetakan arahnya sendiri.
Ketika awal berdiri, banyak pihak yang menyangsikan kelangsungan JetStar, bahkan para kritikus menyebut maskapai ini akan gagal. Dikutip dari simpleflying.com, disebutkan salah satu rahasia kesuksesan awal JetStar adalah pemilihan CEO pertamanya, yang menjadi CEO Grup Qantas saat ini, Alan Joyce.
Seperti halnya Citilink yang pada awalnya memanfaatkan jet eks Garuda Indonesia, maka JetStar pertama kali menggunakan Boeing 717-200 yang diambil dari Qantas ketika membeli Impulse Airlines pada tahun 2001. JetStar memulai terbang perdana dari Bandara Avalon Melbourne, bandara marjinal yang terus diterbangi JetStar (walaupun dengan insentif dari dewan lokal dan pemangku kepentingan Avalon lainnya). Dengan beroperasinya penerbangan di Avalon, maskapai berbiaya rendah ini berkembang pesat. Pada tahun 2005, JetStar beroperasi di kota-kota utama di timur Melbourne, Sydney, Brisbane, dan Gold Coast, selain memulai penerbangan ke Selandia Baru.
Qantas Group juga membawa JetStar dalam membuka jaringan di luar negeri, seperti mendirikan Jetstar Asia yang berbasis di Singapura. Selama tahun-tahun berikutnya, Qantas membawa merek JetStar ke Vietnam, Jepang, dan Hong Kong, meski belakangan Jetstar Hong Kong tidak pernah berhasil, dan Qantas kini juga telah keluar dari investasi di Vietnam.
Baca juga: Kasus Awak Kabin Jetstar: Tenaga Asing Dibayar Murah dengan Kerja Ekstra
Lepas dari itu semua, dapur keuntungan terbesar JetStar dan tulang punggung kesuksesannya adalah operasi domestiknya di Australia. Ditambah lagi, setelah Virgin Blue berubah menjadi Virgin Australia dan memutuskan untuk fokus di rute kota-kota besar, JetStar memiliki pasar penerbangan murah untuk pasar terbesar di Australia. Sementara juga menerbangi banyak rute yang dioperasikan oleh maskapai induk Qantas, JetStar mengejar basis pelanggan yang berbeda dan menetapkan harga yang sesuai untuk penerbangannya.