Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia mungkin masyhur dikenal atas kepemilikan fasilitas perawatan pesawat kategori narrow body terbesar di dunia dengan kemampuan memuat 16 pesawat sekaligus. Bahkan, fasilitas bernama Hanggar 4 yang diresmikan pada tahun 2015 itu diproyeksikan untuk mendukung target GMF menjadi pemain global di industri MRO (maintenance, repair, and overhaul).
Baca juga: Hemat Devisa, GMF dan Lion Air Group Bangun Delapan Hanggar Perbaikan di Bandara Hang Nadim
Namun, dalam kunjungan kami ke fasilitas GMF AeroAsia di Bandara Soekarno-Hatta pada 30 Juli 2020, bukan hanya Hanggar 4 yang menarik perhatian, melainkan ada sosok yang menarik di area halaman depan kantor pusat anak perusahaan Garuda Indonesia tersebut. Dengan balutan livery biru -putih, yang dimaksud adalah pesawat jet pribadi Dassault Falcon 20.
Dari data planelogger.com, pesawat dengan nomor registrasi PK-CIR itu diketahui terakhir dimiliki oleh private owner sejak tahun 1996 silam. Namun, beberapa situs sejenis satu pun tak ada yang memuat informasi detail kepemilikan pesawat, termasuk keberadaannya di GMF AeroAsia.
Yang jelas, sejak pertama kali diproduksi pada 1967, pesawat yang mencatat penerbangan pertama pada 1963 itu tercatat sudah empat kali berpindah tangan dengan latar belakang operator yang berbeda-beda, mulai dari Royal Australian Air Force (militer), L King (sipil), hingga Christmas Island Resort (sipil/non maskapai penerbangan).
Secara umum, Dassault Falcon 20 bisa dibilang tak memiliki identitas yang jelas antara pesawat sipil dengan militer. Sebab, di kedua sektor tersebut, pesawat pertama dari keluarga jet bisnis yang diproduksi Dassault Aviation ini nyaris sama banyak. Data menunjukkan, dari 28 negara pengguna, 12 di antaranya dioperasikan oleh militer.
Namun, terlepas dari itu, spesifikasi Falcon 20 di militer dan sipil tak banyak mengalami perbedaan; begitu pula dari segi nama. Sebab, tak jarang, sekalipun dari jenis yang sama, beberapa pesawat cenderung memiliki perbedaan dari segi spesifikasi dan nama, salah satunya McDonnell Douglas Dakota DC-3.
Dibekali sepasang mesin turbofan General Electric CF700 yang berada di bagian belakang, Dassault Falcon 20 mampu mengangkut penumpang sebanyak 14 orang ditambah dua kru. Pesawat yang memiliki panjang 17.15 m, bentang sayap 16.30 m, dan tinggi 5.32 m ini digadang mampu melaju dengan kecepatan maksimum 862 km per jam, serta daya jelajah sejauh 3,350 km.
Pesawat dengan berat maksimum saat lepas landas (MTOW) sebesar 13.000 kg ini juga memiliki ketinggian terbang maksimum yang cukup lumayan, mencapai 12.800 m, melebihi maximum altitude Boeing 737 versi awal yang hanya mampu terbang di ketinggian 12.400 meter.
Selama puluhan tahun mengudara, Dassault Falcon 20 pernah mencatat tinta emas di sektor dirgantara internasional dengan menjadi jet sipil pertama yang terbang menggunakan biofuel 100 persen. Prestasi itu bukan hanya membuat keberadaan pesawat jadi makin spesial, melainkan sebagai sebuah penghilang rasa pilu akibat kecelakaan tragis yang dialami pesawat jet bisnis sayap rendah (low wing) ini.
Baca juga: Warning Buat AS-Eropa, Pabrikan Cina COMAC ARJ21 Lulus Uji Terbang di Bandara Tertinggi di Dunia
Tak lama setelah lepas landas, Dassault Falcon 20 dilaporkan menghisap beberapa kawanan burung ke dalam mesin hingga akhirnya memutus saluran bahan bakar dan menyebabkan mesin tersebut rusak.
Kebakaran di dekat bagian belakang kabin pun tak terhindarkan dan pilot kehilangan kendali ketika berusaha melakukan pendaratan darurat. Akibatnya, 10 penumpang tewas. Insiden yang terjadi pada tahun 1995 itu pun menyeret Dassault Falcon 20 untuk masuk dalam daftar lima kecelakaan penerbangan akibat bird strike terburuk di dunia.