Proyek “Made in China 2025” terkait pengembangan pesawat komersial pertama Negeri Tirai Bambu terancam mangkrak. Penyebabnya, apalagi kalau bukan perang dagang Amerika Serikat (AS)-Cina sejak beberapa tahun belakangan.
Baca juga: COMAC Serius Goyang Duopoli Airbus dan Boeing, Pesanan Nyaris 1.000 Unit Jadi Sinyal Kuat
Laporan NTD News, penasehat senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Scott Kennedy, mengatakan bahwa pesawat COMAC C919 hanya namanya saja Made in China. Sebab, nyaris seluruh komponen yang membuatnya terbang berasal dari rantai pasokan di Barat, khususnya Amerika Serikat (AS).
Mesin C919, misalnya, memakai produk CFM Internasional dan General Electric, perusahaan patungan AS-Perancis. Sistem avionik, landing gear, dan flight control diproduksi oleh Honeywell serta sistem komunikasi dan navigasi diproduksi oleh Rockwell Collins. Keduanya merupakan perusahaan asal AS. Secara keseluruhan, perusahaan AS memasok seperlima komponen pesawat COMAC C919.
Sedangkan perusahaan-perusahaan Eropa memasok sekitar sepertiga komponen ke pesawat itu; termasuk juga ke pesawat “Made in China” lainnya, COMAC ARJ21. Adapun sisanya dipasok oleh 14 perusahaan Cina, dengan tujuh di antaranya merupakan perusahaan patungan.
Dengan kondisi tersebut, akan sangat kacau bila rantai pasokan sampai dijegal AS dan sekutu. Celakanya, hal itu perlahan mulai jadi kenyataan.
Pada Desember lalu, Departemen Perdagangan AS merilis daftar entitas terlarang yang berafiliasi dengan militer. Tujuh daftar itu memang tidak termasuk COMAC. Namun, terdapat nama Aviation Industry Corporation of China (AVIC), perusahaan patungan antara General Electric dan BUMN Cina pada 2012 untuk pengembangan avionik C919, yang merupakan pemegang saham minoritas COMAC.
Sejauh ini, dikutip dari South China Morning Post, belum ada laporan bagaimana dampak kebijakan tersebut. Namun, besar kemungkinan, proyek Made in China 2025 di bidang dirgantara akan mangkrak, sekalipun pihak COMAC mengaku sertifikasi C919 terus dikebut dan ditargetkan bakal rampung pada akhir 2021.
Partai Komunis Cina yang tengah berambisi membawa Beijing ke posisi tertinggi di bidang teknologi memang sangat berambisi untuk menggoyang duopoli Airbus dan Boeing. Sejauh ini, Pemerintah Cina disinyalir telah mengucurkan dana antara US$49 miliar dan US$72,1 miliar untuk pengembangan C919. Pengembangan itu termasuk pembuatan mesin CJ-1000AX C919 oleh perusahaan BUMN Aero Engine Corporation of China, menggantikan mesin LEAP, perusahaan patungan General Electric-Safran.
Dengan dana sebesar itu yang sudah dikeluarkan, tentu akan sangat merugikan bila proyek pengembangan pesawat itu dihentikan. Pun demikian, bila dilanjutkan, investasinya akan sangat membengkak.
Tak hanya C919, proyek pesawat widebody Cina-Rusia, CR929 diprediksi juga akan mengalami nasib serupa lantaran blokade teknologi oleh beberapa negara maju.
Disebutkan, integrasi militer-sipil Cina juga disinyalir bakal membuat proyek pesawat CR929 Cina-Rusia tertunda kembali. Terlebih gesekan terkait wabah virus Corona dan buruknya politik luar negeri rezim komunis Cina juga membuat Barat-Jepang bersatu melawan.
Baca juga: Rusia-Cina Ribut, Proyek Pesawat CR929 Batal?
Perlahan tapi pasti, perlawanan Barat-Jepang terhadap ekspansi Cina untuk menjadi pemimpin baru global juga ditunjukkan dengan memblokade pertukaran teknologi secara massif. Mereka khawatir, teknologi darinya akan diterapkan untuk kebutuhan militer.
Belum lama ini, seperti diberitakan Epoch Times, Jepang menggandeng empat negara Barat, yakni Jerman, Belanda, Inggris, dan AS agar tak mentransfer empat teknologi utama ke Cina, meliputi artificial intelligence (AI), quantum computers, biotechnology, dan hypersonic speed. Blokade dua dari empat teknologi itu, AI dan komputer quantum, dinilai dapat memperlambat proyek tersebut.