Menurut Cirium, setidaknya ada 18 ribu pesawat di-grounded di seluruh dunia. Data tersebut pun diperkuat oleh FlightRadar24.com yang mencatat bahwa lalu lintas udara total pada bulan April turun 62 persen dan lalu lintas penerbangan komersial turun 73,7 persen dibanding periode yang sama di 2019 . Pada April 2020, hari tersibuk di langit terjadi pada tanggal 28, dengan 80.714 penerbangan. Namun tetap saja jauh tertinggal bila dibandingkan dengan 17 April 2019 dengan 203.239 penerbangan.
Baca juga: Kata Pengamat Penerbangan: Secara Substansial Bisa Saja Garuda Dikatakan Bangkrut
Akibatnya, PHK pun tak terhindarkan. Di dunia, tercatat ada lebih kurang 290.000 pilot telah di-PHK. Itu belum pun belum seberapa. Sejak April lalu Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) sudah memperingatkan bahwa 25 juta pekerja di sektor aviasi bisa saja terancam bila tidak ada langkah konkret untuk menyelamatkan.
Di Indonesia, Indonesia National Air Carrier Association (INACA) menyebut, untuk mengurangi kerugian yang diderita, beberapa waktu belakangan ini, sejumlah maskapai penerbangan telah mulai merumahkan karyawan atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), baik bagi pilot, awak kabin, teknisi, dan karyawan pendukung lainnya. Selain itu, pemotongan gaji dan penundaan pembayaran insentif atau tunjangan juga tak terhindarkan.
Padahal, bila dilihat dari kerangka ekosistem bisnis maskapai secara utuh, sebetulnya, PHK karyawan bukan satu-satunya objek efisiensi. Banyak hal yang bisa dilakukan maskapai. Pengamat penerbangan, Ridha Aditya Nugraha menyebut, dalam situasi seperti sekarang ini, pilihan kembali ke tangan maskapai.
“Bila melihat dari cost share, tinggal dipilih saja mana yang mau dikorbankan terlebih dahulu,” katanya dalam webinar via Zoom bertemakan Industri Penerbangan: Ambruk Diterjang Pagebluk?, Selasa (5/5).
Dalam pemaparannya, ia menyebut bahwa maskapai setidaknya punya tiga cost share, mulai dari fixed cost, semi-fixed cost, variable cost. Depreciation dan cicilan ke leasing menjadi biaya yang tak bisa dihindari maskapai dengan persentase sekitar 12 persen.
Sebab, praktik pasar dari sewa pesawat adalah sewa bersih dengan klausul “hell or high water” yang mengharuskan penyewa membayar sewa dan melakukan semua kewajiban lainnya berdasarkan sewa tersebut secara absolut dan tanpa syarat. Jadi, kesulitan-kesulitan yang dialami maskapai, mungkin tak menjadi sebuah excuse bagi lessor. Namun, tentu saja segalanya bisa berubah setelah dinegosiasikan.
Semi-fixed cost sendiri sekurang-kurangnya ada lima komponen beban, yakni station expenses, MRO (Maintenance Repair and Overhaul), tiketing, dan administrasi. Mereka setidaknya berkontribusi terhadap keuangan perusahaan dengan persentase sebesar 28 persen. Demikian juga dengan crew yang menyumbang sekitar 9 persen dari total cost share.
Baca juga: Nasib Pilot Gegara Corona, Tetap Harus ‘Terbang’ Tanpa Dibayar
Dari kesemuanya itu (fixed cost dan semi-fixed cost, termasuk di dalamnya crew) menyumbang sekitar 49 persen dari total cost share. Adapun 51 persen sisanya masuk ke dalam variable cost, seperti fuel, other flight operations, jasa bandara, air navigation charge, passenger service, dan other opex atau operating expenses seperti pajak dan lain sebagainya.
Bila melihat dari komponen beban tersebut, maka, PHK tentu bukan satu-satunya jalan untuk menekan laju pengeluaran keuangan maskapai. Sebagaimana yang sudah diungkap sebelumnya, pilihan kembali ke tangan maskapai, komponen beban mana, selain fixed cost, yang terlebih dahulu ingin dikorbankan.