Wednesday, April 2, 2025
HomeAnalisa AngkutanBukan Cuma Bisa Mengecam, Indonesia Pernah Larang Pesawat PM Israel Lintasi Ruang...

Bukan Cuma Bisa Mengecam, Indonesia Pernah Larang Pesawat PM Israel Lintasi Ruang Udara Indonesia

Sikap Indonesia tak pernah berubah dalam mendukung Kemerdekaan Palestina, meski sampai saat ini apa yang dilakukan Indonesia lebih dominan pada langkah mengutuk dan mengecam atas kebrutalan pasukan Zionis, namun lebih dari itu, pada tahun 2017, Israel sempat dibuat ‘repot’ oleh kebijakan Pemerintah Indonesia, apakah itu?

Baca juga: Mengenal Palestinian Airlines, Maskapai Nasional Sekaligus Simbol Kemerdekaan Palestina

Persisnya pada Selasa, 21 Februari 2017, maskapai El Al yang membawa Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin “Bibi” Netanyahu dijadwalkan lepas landas dari Bandara Changi, Singapura, menuju Sydney, Australia, malam waktu setempat. Secara geografis, penerbangan dari Singapura ke Selatan menuju Australia umumnya jauh lebih efisien dengan melewati ruang udara Indonesia.

Akan tetapi, alih-alih melewati ruang udara Indonesia, pesawat tersebut justru memutar arah, mengambil rute Malaysia-Filipina-Palau-Papua Nugini-Australia. Menurut data FlightAware, dengan rute tersebut, tak heran bila perjalanan membutuhkan waktu tempuh selama 11 jam 3 menit, dengan jarak sejauh 9474 kilometer. Padahal, bila melewati rute Singapura-Indonesia-Australia, sebagaimana penerbangan Singapore Airlines pada keesokan harinya, hanya membutuhkan waktu 7 jam 38 menit, dengan jarak sejauh 6664 kilometer.

Rute yang ditempuh pesawat kenegaraan PM Israel, Benjamin Netanyahu. Foto: FlightAware

Usut punya usut, hal itu bukan karena faktor cuaca sehingga pesawat mengambil rute lain yang lebih aman, melainkan karena Indonesia dan Israel tidak terikat dalam satu perjanjian bilateral atau hubungan diplomatik.

Oleh karenanya, tak heran bila di momen dan waktu yang berbeda, Indonesia juga pernah diperlakukan seperti Netanyahu. Kala itu, saat Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, hendak melakukan kunjungan kenegaraan ke Palestina, Israel juga tidak memberikan izin terbang, beberapa waktu sebelum pesawat Netanyahu ditolak masuk ke ruang udara Indonesia.

Dihimpun KabarPenumpang.com dari berbagai sumber, bila berkaca dari mekanisme penerbangan, khususnya di Indonesia, sebuah pesawat (bahkan pesawat kepresidenan atau VIP sekalipun) setidaknya harus mendapat izin masuk dari tiga kementerian, security clearance dari Kementerian Pertahanan, diplomatic clearance dari Kementerian Luar Negeri, dan izin lalu lintas udara dari Kementerian Perhubungan. Ketiga izin ini sepaket. Satu izin tak didapatkan, pesawat tak bisa melintas.

Lantas, apa yang terjadi bila pesawat yang ditumpangi PM Israel Netanyahu bersikukuh untuk melintas, tanpa seizin dari otoritas Indonesia? Jawaban atas pertanyaan tersebut sebetulnya tidak sederhana. Tetapi, dengan adanya izin terbang dari otoritas Indonesia, sebuah pesawat memang akan terus diarahkan untuk mendapatkan rute terbaik dan teraman (saat melewati ruang udara Indonesia).

Dalam kasus pesawat PM Netanyahu, bila rombongan tersebut menerobos masuk, hal itu tentu akan membahayakan pesawat lainnya, mengingat, lalu lintas udara, sekalipun langit cukup luas, rupanya cukup padat sehingga harus diatur sedemikian rupa, seperti ketinggian, airways (jalur atau trek pesawat), dan sejenisnya.

Jangankan masuk tanpa izin, penerbangan yang sudah diizinkan pun, ketika diperjalanan hendak mengubah rute ataupun mengubah ketinggian dan kecepatan, mereka juga tetap harus meminta izin menara pengawas, dalam hal ini Air Traffic Service Center (ATSC) di bawah AirNav Indonesia. Bila tidak, akan sangat berbahaya dan rentan terjadinya kecelakaan.

Dengan kemungkinan bahaya itu, pihak Indonesia bisa saja melakukan langkah-langkah tegas, seperti memukul mundur pesawat hingga keluar dari ruang udara Indonesia atau yang lebih tegas dari itu, yakni menembak jatuh pesawat.

Baca juga: Sejak 1973, Iran, Rusia dan AS Ternyata Pernah Menghantam Pesawat Penumpang dengan Rudal

Insiden ditembak jatuhnya pesawat dengan latar belakang tidak adanya izin terbang dari otoritas terkait, pernah terjadi di Sakhalin, Rusia pada 1 September 1983. Pesawat Boeing 747 Korea Selatan milik Korean Air ditembak jatuh oleh jet-jet tempur Soviet di Pulau Sakhalin, setelah berbelok keluar jalur. Sekitar 269 penumpang dan anggota kru dilaporkan tewas.

Pesawat nahas tersebut dinilai telah melewati ruang udara Rusia tanpa izin sehingga dilakukan langkah tegas. Sebelum benar-benar ditembak jatuh, Angkatan Udara Rusia sebetulnya sudah membuka komunikasi dengan pesawat Korean Air. Namun, karena tidak adanya solusi, akhirnya Rusia mengambil langkah tersebut. Insiden itu bisa saja terjadi pada pesawat PM Netanyahu bila 3 tahun lalu ia dan rombongan memaksa masuk ruang udara Indonesia tanpa izin.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru