Pada awal tahun 2019 lalu, Airbus mengumumkan akan mengentikan produksi pesawat komersial terbesar di dunia, Airbus A380. Banyak hal yang mendasarinya, salah satunya ukuran yang dinilai sudah tak lagi relevan dengan kebutuhan penumpang ke depan. Selain itu, ongkos operasional A380 juga dinilai cukup mahal karena memiliki empat mesin. Namun, bisakah a380 terbang dengan hanya dua mesin, atau bahkan dalam kondisi di luar kendali, terbang hanya denga satu mesin?
Baca juga: Nasib Malang Airbus A380, Tak Dilirik Jadi Angkutan Kargo Gegara Empat Alasan Ini
Dalam sebuah penerbangan, umumnya seluruh pihak yang terlibat, mulai dari regulator, maskapai, operator bandara, pengelola air navigation, dan berbagai pihak lainnya, hanya bisa memastikan bahwa seluruh prosedur berjalan dengan tepat tanpa sedikitpun kesalahan. Namun, mereka tidak benar-benar memastikan sebuah penerbangan bebas dari ancaman apapun yang dapat mengganggu keamanan dan keselamatan terbang.
Ada banyak faktor penyebab penerbangan berubah menjadi uji adrenalin, salah satunya masalah pada mesin. Masalah mesin pun juga disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari masalah power supply, kegagalan mesin yang terkendali, dan kegagalan mesin tak terkendali akibat faktor eksternal, salah satunya bird strike.
Terlepas dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya, mungkin sulit untuk membayangkan sebuah pesawat superjumbo kehilangan daya akibat kehilangan satu, dua, atau bahkan tiga dari empat mesin yang ada. Tetapi, bila pun hal itu terjadi, lantas bagaimana dengan nasib pesawat?
Dikutip dari Simple Flying, dalam kondisi tersebut, pesawat setidaknya akan mengalami tiga kemungkinan pergerakan; naik, turun, dan terbang stabil. A380 memiliki empat mesin (sebetulnya ada dua jenis mesin yang berbeda, tetapi untuk kemudahan hipotesis, kami akan mengambil contoh pada kasus ini) masing-masing dengan daya dorong sekitar 356,81 kN (80,210 lbf), yang memberi daya pada pesawat untuk terbang. Berarti, bila digabungkan, empat mesin memiliki daya dorong sekitar 1,427.24 kN (320.840 lbf).
Melihat bobot kosong A380, yakni 276 ton, setidaknya, daya dorong gabungan dari keempat mesin tersebut perlu menghasilkan daya dorong sekitar 2707 kN untuk membuat pesawat terbang vertikal ke langit, layaknya roket. Tentu daya dorong tersebut jauh di luar kemampuan mesin-mesin yang ada. Lagi pula, secara alami, pesawat tidak terbang langsung ke atas seperti roket melainkan terbang secara horizontal menggunakan sayap untuk mengubah energi kinetik menjadi daya angkat.
Dengan bergerak terbang horizontal layaknya kurva yang semakin meningkat, terbang dengan mesin tunggal 356,81 kN (80,210 lbf) berarti pesawat harus mempertahankan kecepatan jelajah di kisaran Mach 0,85 (903 km per jam). Jika tidak, pesawat akan mulai melambat dan kehilangan ketinggian. Secara matematis, kecepatan ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh mesin tunggal.
Dalam kondisi gawat darurat, sebetulnya A380 dirancang untuk tetap bisa terbang dengan dua mesin. Kurang dari itu, pesawat tidak akan mampu mempertahankan ketinggian. Hal ini (pesawat empat mesin terbang dengan hanya kurang dari dua mesin) tercatat pernah terjadi pada 24 June 1982. Namun, bukan menimpa A380, melainkan City of Edinburgh Boeing 747-200.
Saat itu, pesawat yang dioperasikan British Airways dengan rute London Heathrow-Auckland dan transit di Mumbai, Kuala Lumpur, Perth, dan Melbourne tersebut mengalami kegagalan mesin akibat abu letusan Gunung Galunggung, di Tasikmalaya, Jawa Barat. Abu vulkanik rupanya bukan membuat satu, dua, atau tiga mesin mendadak mati, melain keempat mesin seluruhnya mati.
Baca juga: Singapore Airlines Kirim A380 Ke ‘Kuburan’ Pesawat di Gurun Australia
Dalam kondisi darurat, pesawat kemudian dialihkan ke Jakarta. Tercatat, pesawat melaju dengan kecepatan 15 km per 1 km dan perlahan-lahan terus kehilangan ketinggian. Kala itu, pilot sebetulnya sudah bersiap untuk mendarat darurat di sungai selama perjalanan menuju ke Jakarta.
Beruntung, flight engineer berhasil membuat satu mesin kembali menyala, untuk mencegah pesawat kehilangan ketinggian drastis, dan pada akhirnya keempat mesin berhasil beroperasi secara normal. Pesawat pun akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan mendarat dengan selamat di Bandara Halim Perdanakusuma. Tak ada satupun orang terluka. Insiden ini pun diabadikan dalam sebuah acara serial TV Air Crash Investigation yang berjudul “All Engines Failed!”