Garuda Indonesia terus mencari cara agar bisa bertahan hidup. Selain menawarkan program pensiun dini kepada para karyawan, maskapai pelat merah itu memangkas gaji seluruh karyawan, sampai mengembalikan pesawat ke lessor.
Baca juga: Disebut Sudah Bangkrut, Ini 6 ‘Dosa’ Garuda Indonesia dari Masa ke Masa
Terbaru, setelah mengembalikan 12 pesawat CRJ1000 ke lessor atau perusahaan leasing, Garuda Indonesia, laporan Flight Global, disebut bakal terus melanjutkan program pengembalian pesawat ke lessor sampai 50 unit.
Itu berarti, dari total 142 pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia saat ini, dengan rincian 10 unit Boeing 777-300ER, tiga Airbus A330-900, 17 Airbus A330-300, tujuh Airbus A330-200, 73 Boeing 737-800, satu Boeing 737-8 Max, 18 CRJ1000, 13 ATR 72-600, praktis maskapai armada maskapai menyusut menyisakan 92 unit saja.
Kendati itu masih lebih banyak dibanding kebutuhan pesawat saat ini, terlebih manajemen juga sudah berikrar ingin memangkasnya menjadi kurang dari 70 pesawat, namun, memang dibutuhkan spare belasan atau puluhan unit sebagai pengganti pesawat-pesawat yang sedang dalam maintenance.
Dari total 142 armada, 53 pesawat di antaranya sedang dalam perawatan rutin dan 39 lainnya sedang perawatan lanjutan (MRO).
Selama pandemi virus Corona, Garuda Indonesia tercatata hanya mengoperasikan 53 pesawat, dimana 63 persennya adalah armada Boeing 737-800.
Langkah manajemen Garuda Indonesia mengembalikan pesawat ke lessor secepat mungkin dinilai merupakan sebuah langkah tepat. Sebab, dari struktur cost perusahaan yang dibeberkan pengamat BUMN, Toto Pranoto, leasing menempati posisi tertinggi mencapai 75 persen. Adapun sisanya datang dari utang jangka pendek sebesar 21 persen, dan utang jangka panjang sebesar 2,5 persen.
“Mengingat struktur cost leasing menjadi yang tertinggi, saya kira langkah yang dilakukan manejemen sekarang sudah tepat, ya,” katanya saat pemaparan materi diskusi yang digelar Intipesan Institute bertajuk “Dialog Manejemen Garuda Indonesia” beberapa waktu lalu.
Garuda Indonesia belakangan ramai jadi perbincangan publik lantaran nyaris bangkrut. Melihat laporan keuangan perusahaan, Garuda Indonesia sebenarnya berhasil membukukan keuntungan sebesar US$6,98 juta atau Rp99,11 miliar (kurs Rp14.200 per dolar AS) pada 2019. Namun, keuangannya langsung tertekan pada 2020 atau saat pandemi melanda dunia termasuk Indonesia.
Garuda Indonesia menderita kerugian hingga US$1,07 miliar atau Rp24,29 triliun (kurs 14.296) pada kuartal III 2020. Angkanya berbanding terbalik dibandingkan dengan posisi kuartal III 2019 yang membukukan laba bersih sebesar US$122,42 juta atau Rp1,73 triliun.
Pendapatan perusahaan jeblok dari US$3,54 miliar (Rp50,26 triliun) menjadi US$1,13 miliar (Rp16,04 triliun). Rinciannya, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal sebesar US$46,92 juta (Rp666,26 miliar) dan penerbangan berjadwal US$917,28 juta (Rp13,02 triliun).
Baca juga: Ngeri! Sudah 1.300 Pesawat Dikembalikan Maskapai ke Lessor Gegara Kesulitan Keuangan
Bulan Mei lalu, dari rekaman meeting internal yang bocor ke media, posisi utang Garuda Indonesia diungkap Direktur Utamanya, Irfan Setiaputra, berada di posisi Rp70 triliun. Setiap bulan, Garuda rugi hingga US$100 juta atau sekitar Rp1 triliun.
Tak ayal, di tengah sulitnya kondisi keuangan, program pensiun dini pun digalakkan. Mirisnya, bagi mereka yang memutuskan bertahan, tidak akan digaji karena keterbatasan uang cash.