Bisnis penerbangan oleh maskapai sangat berisiko tinggi. Kendati pesawat adalah moda transportasi paling aman di dunia, namun, saat terjadi kecelakaan bisnis maskapai sangat terancam sampai membuat kerugian besar. Lantas, berapa kerugian maskapai penerbangan ketika kecelakaan terjadi?
Baca juga: Mengapa Perusahaan Leasing ‘Diburu’ Maskapai dan Mengapa Maskapai Menyewa Pesawat? Ini Jawabannya
Maskapai penerbangan tentu tidak sendiri dalam mengoperasikan pesawat dan melayani penumpang. Ini melibatkan banyak pihak.
Dari segi pesawat, maskapai bekerjasama dengan produsen dan lessor atau leasing pesawat dalam hal sewa-menyewa. Hampir seluruh maskapai di dunia diketahui menyewa pesawat untuk menjalankan layanan penerbangan, baik itu maskapai besar dengan kapital super besar seperti Qatar Airways, Emirates, dan lainnya, maupun maskapai kecil.
Banyak hal yang mendasari ini, termasuk mahalnya biaya membeli pesawat. Merujuk pada daftar harga, pada pesawat Boeing, misalnya, satu unit Boeing 787-8 baru dibanderol sekitar US$240 juta atau Rp3,7 triliun (kurs Rp 15,808). Demi kelancaran operasi, maskapai tentu saja membutuhkan lebih banyak armada dan itu akan menguras ketersediaan uang tunai maskapai.
Karena itu, maskapai mayoritas lebih memilih menyewa pesawat ke lessor dan umumnya dari tiga model bisnis yang dilakukan, mulai dari sewa basah atau wet lease, sewa kering atau dry lease, dan sewa lembab atau damp lease, sewa kering lebih banyak dipilih. Kendati lebih cenderung menyewa pesawat, maskapai tetap berinvestasi dengan membeli sebagian kecil pesawat dari total armada.
Lessor tentu tak ingin mengambil risiko dan mengasuransikan pesawat yang dibelinya selama disewa maskapai. Sudah jadi rahasia umum bahwa seluruh pesawat yang beroperasi di dunia dilindungi atau dijamin asuransi.
Baca juga: Pilihan Pengadaan Pesawat, Mengapa Maskapai Pilih Airbus dan Boeing?
Itu kenapa, saat terjadi peperangan atau konflik bersenjata di sebuah wilayah, maskapai ramai-ramai menghindari terbang di atas wilayah tersebut karena pihak asuransi tidak akan menanggung andai terjadi sesuatu atau tidak termasuk dalam insiden yang bisa ditanggung asuransi. Dengan begitu, terbentuk pola saling ketergantungan satu sama lain dalam bisnis maskapai.
Sampai di sini, saat terjadi kecelakaan pesawat maskapai, bisa dibilang maskapai tidak mengalami kerugian materil sedikitpun dari rusaknya pesawat. Lalu, bagaimana dengan penumpang?
Dihimpun dari berbagai sumber, selain mengasuransikan pesawat, pihak manufaktur juga diketahui telah mengasuransikan penumpang selama pesawat dioperasikan. Saat terjadi kecelakaan, penumpang otomatis telah ter-cover asuransi dari produsen maskapai yang bersangkutan. Sampai di sini, maskapai juga tidak mengalami kerugian atas sebuah kecelakaan.
Namun, dalam aturan perundang-undangan di Indonesia, saat terjadi kecelakaan pesawat, maskapai diwajibkan membayar kompensasi sebesar Rp 1,25 miliar per penumpang yang dibayarkan ke ahli waris. Dalam beberapa kasus, maskapai selalu memenuhi kewajiban ini, meski prosesnya ada yang mencicil dan cash.
Namun, di balik layar, tidak pernah diketahui apakah pembayaran kompensasi tersebut berasal dari keuangan murni maskapai atau dari pihak asuransi yang telah digandeng maskapai.
Baca juga: Empat Alasan Mengapa Maskapai Selalu ‘Rugi’, Nomor 1 Dilematis
Secara umum, dalam sebuah kecelakaan, sebagaimana dalam sebuah pendapat di Quora, kerugian tidak dialami maskapai dari insiden tersebut, melainkan dari hilangnya kepercayaan penumpang terhadap maskapai.
Dalam sebuah kasus, pesawat yang dioperasikan maskapai mengalami kecelakaan. Setelahnya, maskapai melakukan perubahan besar. Namun, penumpang sudah kehilangan kepercayaan dan itu mengakibatkan mereka kehilangan US$60.000 setiap hari selama 18 bulan. Itulah yang pada akhirnya membuat maskapai gulung tikar alias bangkrut.