Sebagai ibu kota negara, keberadaan bandara di DKI Jakarta rupanya masih kalah banyak dibanding Provinsi Sumatera Utara yang memiliki 10 bandara. Saat ini, Jakarta hanya mempunyai satu bandara internasional, yakni Bandara Internasional Halim Perdanakusuma. Adapun satu bandara internasional lainnya bukan terletak di Jakarta, melainkan di Tangerang, Banten; sekalipun jarak tempuh dari keduanya tergolong singkat.
Baca juga: Mengenal Bandar Udara Kemayoran, Bandara Internasional Pertama di Indonesia
Seiring meningkatnya frekuensi penerbangan dan pertambahan jumlah penumpang di setiap tahun, wacana mendirikan bandara baru, yang diusulkan bernama Bandara Ali Sadikin, pun menyeruak. Kala itu, proyek usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini rencananya akan dibangun di Marunda, Jakarta Utara atau di bibir muara Banjir Kanal Timur (BKT).
Dilansir dari berbagai laman sumber, Bandara Internasional Ali Sadikin ini nantinya akan terkoneksi dengan wilayah Tanggul ‘Garuda Raksasa’, dan 17 pulau baru hasil reklamasi. Selain bandara, proyek besar ini juga akan dilengkapi pelabuhan.
Padahal, bila dirunut ke belakang, Jakarta rupanya pernah mempunyai satu bandara selain Halim Perdanakusuma. Bandara tersebut ialah Bandara Internasional Kemayoran. Runway bandara ini dibangun pada tahun 1934 dan secara resmi dibuka pada tanggal 8 Juli 1940.
Bandara ini pertama kali didarati pesawat jenis DC-3 Dakota milik perusahaan penerbangan Hindia-Belanda, KNILM (Koningkelije Nederlands Indische Luchtvaart Maatschapij) dua hari sebelum diresmikan. Tercatat pesawat KNILM beroperasi di Kemayoran sampai akhir beroperasi.
Bandara yang dahulu terkenal dengan nama Kemajoran ini perlahan mulai berhenti beroperasi pada tanggal 1 Januari 1983. Bandara ini resmi ditutup pada tanggal 31 Maret 1985. Selanjutnya seluruh penerbangan lokal dan internasional dipindahkan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Dilihat dari letak geografis, sebetulnya Bandara Kemayoran dengan calon lokasi Bandara Ali Sadikin tidak terpaut cukup jauh, hanya berjarak sekitar lima menit ke arah Utara. Mengingat bandara tersebut sudah tidak lagi dioperasikan, opsi untuk mengaktifkan kembali bandara tersebut ketimbang membuat bandara baru dinilai lebih masuk akal.
Akan tetapi, bila pun Bandara Ali Sadikin tetap ingin dibangun, paling tidak ada dua dampak yang akan ditimbulkan, satu dampak buruk dan satu lainnya baik. Dampak positif bila Bandara Ali Sadikin dibangun tentu bakal meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar bandara. Selain itu, keberadaan Bandara Ali Sadikin juga akan mengurai kepadatan yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta.
Akan tetapi, keberadaan Ali Sadikin tentu bakal membuat wilayah sekitar radius beberapa klimoter tak diperbolehkan adanya bangunan tinggi. Hal itu tentu tidak mudah mengingat harus melalui proses panjang dan berkaitan dengan banyak instansi terkait.
Baca juga: Ada Lima Bandara Pionir di Indonesia, Semuanya Buatan Belanda Lho!
Sayangnya, di akhir tahun 2014 lalu, Pemprov DKI sudah memastikan bahwa Bandara Ali Sadikin batal di bangun karena kepadatan yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta dan Halim Perdanakusuma. Sebagai gantinya, Karawang pun dibidik untuk bisa dibangun bandara baru.
Ali Sadikin sendiri ialah Gubernur Jakarta periode 1966 -1977. Terlepas dari berbagai kontroversi yang mewarnai kepemimpiannya, seperti melokalisasi pekerja seks, program keluarga berencana, penerapan pajak judi, pelarangan becak, sampai menutup Jakarta dari pendatang baru, Gubernur yang punya gagasan masterplan pembangunan 1965-1985 untuk membuka pintu bagi investasi swasta ini dinilai sebagai sosok yang tulus memikirkan warga miskin. Setidaknya, itulah pandangan sejarawan JJ Rizal.