Masih ingat amonium nitrat, penyebab utama terjadinya ledakan besar di Beirut, Lebanon? Kabarnya, salah satu senyawa kimia yang membentuk amonium nitrat, amonia, bakal dijadikan sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil untuk penerbangan di masa mendatang. Jika ledakan Beirut bisa sampai seperti itu, bagaimana dampaknya terhadap laju dan efisiensi pesawat?
Baca juga: Kejar Target Produksi Pesawat Tanpa Emisi di 2035, Airbus Pertimbangkan Penggunaan Hidrogen
Belum lama ini, Reaction Engines dan Britain’s Science and Technology Facilities Council (STFC) dikabarkan telah menyelesaikan studi tentang penggunaan amonia sebagai bahan bakar alternatif pengganti fosil di dunia penerbangan.
Studi tersebut dilakukan dengan menggabungkan heat exchanger technology atau teknologi penukar panas Reaction Engines dengan katalis (zat yang mempercepat laju reaksi reaksi kimia pada suhu tertentu) canggih STFC. Rumusan tersebut diharapkan dapat menghasilkan sistem propulsi bebas emisi yang ramah lingkungan untuk digunakan pesawat di masa mendatang.
Dikutip dari New Atlas, selama beberapa dekade, mesin jet modern menggunakan bahan bakar avtur yang memiliki tingkat kepadatan tinggi. Hal itu tentu sangat mendukung pesawat untuk melaju dengan kecepatan tinggi melebihi kecepatan suara, mengantar penumpang dan barang lebih cepat ke seluruh dunia.
Hanya saja, avtur berasal dari fosil yang tak ramah lingkungan. Saat ini, perjalanan udara disinyalir menyumbang antara 2-3 persen dari emisi karbon dunia, tak besar memang, namun lebih dari cukup untuk mencemari udara. Tak ayal, industri penerbangan dituntut untuk membebaskan diri dari fosil pada tahun 2050 mendatang.
Sebetulnya, sejak beberapa tahun lalu, ilmuan telah berpacu dengan waktu untuk menemukan energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Sejauh ini, sudah ada lima energi alternatif pengganti bahan bakar fosil pesawat di masa mendatang. Namun, amonia tak termasuk dalam lima itu; sekalipun, bila dirunut ke belakang, sejarah mencatat amonia sudah digunakan sejak tahun 50an sebagai bahan bakar roket X-15 dalam misi ke luar angkasa.
Di satu sisi, amonia tak masuk dalam daftar energi alternatif, awalnya karena dinilai memiliki tingkat kepadatan rendah. Namun, energi alternatif pengganti bahan bakar lainnya, hidrogen cair, di sisi lain mempunyai tingkat kepadatan lebih tinggi dan menjadi alternatif bahan bakar paling layak bersama listrik. Namun, hidrogen dinilai tak efisien karena harus mengubah desain pesawat dan infrastruktur secara keseluruhan. Sebagai jalan tengah, ide untuk menggabungkan keduanya pun tercetus.
Dalam sebuah sistem propulsi baru kolaborasi Reaction Engines dan STFC, amonia disimpan di sayap, persis dengan letak penyimpanan bahan bakar avtur. Panas yang dihasilkan oleh mesin kemudian akan diubah dengan heat exchanger technology Reaction Engines untuk menjadikan amonia lebih hangat saat dialirkan ke reaktor kimia, tempat dimana katalis canggih STFC mengubah sebagian amonia menjadi hidrogen.
Campuran hidrogen dan amonia kemudian masuk ke dalam mesin jet untuk bahan bakar. Sisa pembakaran campuran tersebut tidak berupa asap melainkan menyerupai uap air dan nitrogen. Menurut Reaction Engines, tingkat kepadatan amonia hasil dari metode tersebut cukup tinggi sehingga tak mengharuskan modifikasi pesawat dan mesin secara signifikan.
Saaat ini, kedua perusahaan asal Inggris tersebut tengah mengejar berbagai kekurangan untuk melakukan uji coba pertama penerbangan berbahan bakar amonia.
Baca juga: Perusahaan Inggris Luncurkan Pesawat Penumpang Hybrid Pertama Di Dunia, Boeing Airbus Lewat!
“Kombinasi teknologi penukar panas transformatif Reaction Engines dan katalis inovatif STFC akan membuka jalan pengembangan sistem propulsi penerbangan berbasis amonia yang ramah lingkungan,” kata Dr. James Barth, kepala teknik Reaction Engines.
“Studi kami menunjukkan bahwa mesin jet berbahan bakar amonia dapat diadaptasi dari mesin yang tersedia saat ini, dan amonia sebagai bahan bakar tidak memerlukan pemikiran ulang yang lengkap tentang desain pesawat sipil seperti yang kita kenal sekarang. Ini berarti transisi yang cepat. Untuk masa depan penerbangan yang berkelanjutan dimungkinkan dengan biaya rendah; pesawat bertenaga amonia dapat melayani rute jarak pendek dunia jauh sebelum tahun 2050,” tambahnya.