Sudah menjadi rahasia umum kalau seluruh maskapai penerbangan di dunia mengejar load factor atau tingkat keterisian penumpang di setiap flight. Namun, akibat satu dan lain hal, tingkat keterisian penumpang tidak selalu berada di jalur yang benar atau sesuai harapan maskapai. Di beberapa kondisi, pesawat harus terbang dengan hanya satu dua penumpang atau yang lebih parah dari itu, tanpa satupun penumpang.
Baca juga: Ikutan Menjerit Karena Harga Tiket Pesawat Mahal? Cek Dulu Penyebabnya!
Secara definitif, load factor berarti sebuah indikator yang mengukur persentase tingkat keterisian kapasitas tempat duduk yang tersedia oleh penumpang. Data load factor dari seluruh maskapai di dunia dirilis setiap bulan oleh Asosiasi Transportasi Udara (ATA).
Kemudian, pertanyaan paling mendasar pun muncul, bagaimana load factor mempengaruhi profit maskapai? Jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin tidak sederhana. Namun, secara matematis, sebagaimana dikutip dari investopedia.com, pada intinya, sumber penghasilan terbesar maskapai, 75 persen di antaranya datang dari penumpang. Adapun sisanya, 15 persen datang dari muatan kargo dan 10 persen lagi dari bisnis lainnya, salah satunya iklan.
Dengan hitungan seperti itu, praktis maskapai tak punya pilihan lain kecuali mengejar load factor tinggi. Khususnya bagi maskapai berbiaya rendah atau LCC yang pada umumnya menjual tiket murah dengan berharap banyak pada tingginya load factor. Adapun maskapai lainnya dengan reputasi tinggi pada layanan, mungkin load factor tidak selalu menjadi satu-satunya andalan, mengingat, mereka mengambil margin yang cukup besar pada layanan yang ditawarkan. Namun, kembali lagi, dengan 75 persen pendapatan datang dari penumpang, load factor rendah tetap saja akan sangat mempengaruhi.
Buktinya, di tengah wabah virus Cina yang membuat penerbangan global lesu, turunnya minat terbang masyarakat sangat sejalan dengan revenue yang diterima maskapai. Belum lama ini, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) telah merilis analisis terbaru. Analisis tersebut menunjukkan, lesunya penerbangan akibat pandemi corona akan menyebabkan maskapai kehilangan sekitar US$314 miliar pada tahun 2020, atau turun hingga 55 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019.
Baca juga: Pengamat: Sulit Untuk Ikuti Cina Turunkan Harga Tiket Pesawat Hingga Rp60 Ribu
Selain itu, penumpang juga dibebankan secara kolektif kolegial atas berbagai beban yang ditimbulkan di setiap perjalanan, baik beban jangka pendek ataupun jangka panjang. Seperti perawatan pesawat, sewa pesawat, biaya bahan bakar, airport charge, air navigation charge, in-flight entertainment, honor awak kabin, awak kokpit, staf darat, dan berbagai staf pendukung lainnya. Persentasenya, hampir sepertiga biaya untuk operasional, 13 persen untuk perawatan, 13 persen iklan, 16 persen layanan di bandara, sembilan persen untuk layanan selama penerbangan, dan sisanya untuk biaya lainnya.
Salah satu sumber KabarPenumpang.com yang pernah menjadi salah satu bagian dari flag carrier Indonesia menyebut, dalam sekali penerbangan, maskapai pada umumnya mengambil margin tidak banyak, sekitar lima persen. Oleh karenanya, sebelum sebuah pesawat diputuskan untuk terbang, perhitungan dari tim niaga dan operasional perusahaan harus seakurat mungkin. Pasalnya, bila meleset sedikit saja, bukan tak mungkin penerbangan berujung buntung atau merugi. Sebaliknya, bila hitungan tepat, maka margin lima persen mungkin sudah menjadi sebuah keniscayaan.