Wabah virus corona telah memberi efek domino di dunia penerbangan. Setelah jumlah penumpang global anjlok sampai 85 persen, maskapai di dunia ramai-ramai memangkas kapasitas penerbangan mereka, bahkan di antaranya ada yang sampai 96 persen, seperti Singapore Airlines dan Cathay.
Baca juga: Airbus Masih Hentikan Produksi, Serikat Pekerja Layangkan Protes
Selain pengurangan kapasitas penerbangan, maskapai global juga ramai-ramai melakukan beberapa langkah efisiensi, mulai dari pemotongan gaji, pengurangan karyawan, penundaan sejumlah investasi, hingga penundaan dan pembatalan sejumlah pesanan pesawat. Imbasnya, tentu saja produsen pesawat, dalam hal ini Boeing dan Airbus juga ikut tertekan.
Beruntung, sebelum munculnya berbagai kesulitan di dunia penerbangan saat ini, selama beberapa tahun ke belakang, industri penerbangan global terus-menerus mengalami lonjakan. Saking melonjaknya, Boeing dan Airbus sampai kewalahan memenuhi permintaan pesawat dari maskapai. Khusus untuk Airbus, kondisi tersebut bahkan sampai membuat perusahaan mengalami overbooking, terutama pada pesawat A320neo dan pesawat turunannya.
Menurut laporan dari kantor berita flightglobal.com, keputusan overbooking saat permintaan tengah melonjak drastis justru menjadi penyelamat saat kondisi tak terduga datang. Tak terkecuali krisis akibat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Bila dahulu overbooking atau pesanan berlebih membuat Airbus pusing untuk terus menggenjot kapasitas produksi dan di beberapa kondisi menjadi sebuah beban, saat ini dinilai menjadi keputusan krusial di masa lampau yang sedikit membuat perusahaan selamat atau setidaknya mempunyai beberapa ruang gerak dan waktu untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan.
Kepala eksekutif Airbus, Guillaume Faury mengatakan saat ini pesawat yang masih belum diserahkan (backlog) cukup banyak. Bahkan, untuk backlog pesawat jet A320 dan turunannya, seperti A320neo, A321, 319, dan A318 jumlahnya mencapai 6.200 jet. Meskipun Airbus tidak telalu buka-bukaan terkait konsep pengelolaan overbooking, yang jelas, hal itu saat ini membuat perusahaan sedikit terbantu.
Meski demikian, layaknya Boeing yang membutuhkan suntikan dana segar mencapai $60 miliar atau Rp978 triliun (kurs Rp 16.457), Airbus juga membutuhkan dana segar untuk menjalankan roda bisnisnya, selain juga untuk mengamankan rantai pasokan produksi serta persiapan ketika wabah Covid-19 benar-benar telah berakhir. Hanya saja, tak seperti Boeing yang masih mengandalkan suntikan modal dari pemerintah, Airbus bisa dibilang lebih mandiri.
Perusahaan patungan antara perusahaan Perancis, Jerman, dan Spanyol tersebut saat ini dilaporkan telah mendapatkan fasilitas utang baru dari bank sentral, yang tak disebutkan lebih rinci entah bank sentral Perancis, Jerman, Spanyol, atau bank sentral dari negara lainnya, dengan nominal mencapai Rp265 triliun (kurs Rp 16.457) atau €15 miliar. Dengan begitu, likuiditas salah satu produsen pesawat terbesar di dunia itu sudah mencapai €30 miliar atau Rp530 triliun (kurs Rp 16.457).
Baca juga: Airbus Tiru Formasi Angsa dalam Uji Coba “Fello’Fly” untuk Menghemat Bahan Bakar
Selain memperkuat posisi keuangan perusahaan dengan menambah utang baru, Airbus juga telah melakukan sejumlah langkah efisiensi lainnya, mulai dari menangguhkan dividen untuk menghemat €1,4 miliar hingga menunda pembayaran dana pensiun.
Meski demikian, menurunnya wabah Covid-19 di Cina telah membuat Airbus sedikit bernapas lega. Setelah pengiriman pesawat terbengkalai, Faury menyebut bahwa mungkin April mendatang pengiriman pesawat ke negara tersebut akan kembali dimulai. Hal itu dikarenakan lonjakan penumpang akan kembali terjadi di sana mencapai sekitar 15 persen.