Publik dihebohkan dengan temuan puing roket milik Badan Antariksa Nasional Cina (CNSA), Senin (4/1), di Teluk Ranggau, Desa Sei Cabang Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat. Sebelumnya, pada 18 Juli 2018, roket tingkat 3 CZ-3A juga milik Cina, pernah jatuh di Maninjau, Sumatera Barat, melengkapi temuan roket Cina lainnya, CZ-3A, pada 14 Oktober 2003 di Bengkulu.
Baca juga: Inilah CNSA, NASA-nya Cina Pemilik Puing Roket di Kalteng! Sudah Tiga Roket Cina Jatuh di Indonesia
Sejak dekade 80an, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) setidaknya mencatat sudah ada enam benda antariksa yang pernah jatuh ke Indonesia, termasuk roket Cina yang ditemukan di Kalteng beberapa hari lalu.
Selain itu, masih menurut LAPAN, ratusan juta sampah antariksa saat ini bertebaran di luar angkasa. Sejak 1957 hingga Februari 2020 silam, jumlah benda yang ukurannya antara 1 hingga 10 cm diperkirakan sebanyak 900.000. Adapun benda berukuran antara 1 mm hingga 1 cm diperkirakan sebanyak 128 juta.
Kecil memang, namun, sampah antariksa bergerak dengan kecepatan hingga 40.000 km per jam. Tabrakan pecahan sebesar biji kopi dengan kecepatan setinggi itu dengan sebuah satelit, memiliki kekuatan impact setara sebuah granat dan sudah pasti bakal merusaknya. Lantas muncul pertanyaan, kapan semua itu akan sampai ke bumi dan menghujam negara-negara yang berada di garis khatulistiwa?
Dikutip dari DW, Heiner Klinkrad, Ketua Bagian Sampah Antariksa di Organisasi Antariksa Eropa, ESA, mengungkapkan sampah antariksa jarang jatuh ke bumi. Namun menurut perhitunganya, setiap pekannya ada kemungkinan dua obyek berukuran satu meter jatuh ke dalam ruang atmosfer bumi. Dari segitu luasnya bumi, Indonesia menjadi salah satu negara paling berpotensi kejatuhan sampah antariksa.
Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin, setiap satelit atau sampah antariksa yang berada di ketinggian 600 km berpotensi jatuh dan orbitnya pasti melewati garis khatulistiwa (ekuator). Karenanya, peluang jatuh di daerah ekuator sangat besar dibandingkan dengan di wilayah lintang tinggi. Celakanya, ada beberapa wilayah Indonesia berada di ekuator dan beberapa wilayah lainnya berada tak jauh dari ekuator. Atas kondisi inilah, ia menyebut bahwa kemungkinan sampah antariksa jatuh di Indonesia sangat besar.
Meski demikian, Djamaluddin menerangkan, luasnya wilayah Indonesia membuat kemungkinan sampah antariksa itu jatuh ke pemukiman penduduk dan mencelakakan manusia cukup rendah. Tetapi, tetap saja, tak ada ilmuan yang bisa memprediksi kapan sampah antariksa yang jatuh ke Indonesia mendarat di pemukiman penduduk. Itu berarti, ancaman sampah antariksa dalam mencelakakan masyarakat nyata adanya.
Sebagai informasi, sebetulnya, sejak puluhan tahun lalu, sampah antariksa, yang terdiri atas satelit yang tidak berfungsi lagi hingga fragmentasi ledakan, debu, atau partikel kecil lainnya, memang jadi kajian menarik para ilmuan di Barat.
Baca juga: 2021 Bakal Ada Balapan Mobil Remote Control di Bulan, Aktornya Anak SMP
Ide untuk membersihkan sampah antariksa pun sudah sampai pada level implementasi dengan lahirnya gagasan-gagasan brilian, mulai dari tukang sampah robot gagasan Eropa, menggunakan meriam laser untuk menghancurkan sampah antariksa ala Jerman, penggunaan jaring dan lasso elektrik untuk menangkap asteroid solusi dari AS-NASA, hingga tambang elektrodinamik yang menjadi ide dari Jepang.
Namun, proyek luar angkasa besar-besaran berbagai negara membuat upaya membersihkan luar angkasa dari sampah antariksa menjadi tak efektif.