Sertifikasi Extended-range Twin-engine Operational Performance Standards (ETOPS) memungkinkan pesawat twin jet tetap terbang meski hanya menggunakan satu mesin. Tetapi, bagaimana ketika seluruh mesin mati, apakah pesawat, baik twinjet, trijet, ataupun quadjet, apakah pesawat langsung terjun bebas?
Baca juga: Landing atau Divert? Inilah Delapan Cara Pilot Terbang dengan Aman
Dilansir Simple Flying, ketika seluruh mesin pesawat mati, pilot biasanya akan meminta co-pilot untuk memulihkan Auxiliary Power Unit (APU). APU berfungsi sebagai sumber energi pesawat seperti listrik dan pendingin ruangan. Dalam kondisi tertentu seperti saat seluruh mesin pesawat mati, APU juga berfungsi sebagai supporting engine untuk menghidupkan atau start ulang mesin utama.
Andaipun tak berhasil, pilot akan menginfokan keadaan darurat atau mayday ke ATC. Bila posisi pesawat berada di sekitar bandara atau masih sanggup mencapai bandara, maka ATC akan memberikan clearance ke pesawat untuk mendarat di bandara tersebut sekaligus membersihkan jalur pesawat itu sendiri. Bila tidak, tentu pilot akan mencari tempat pendaratan yang menurutnya paling aman.
Dalam kondisi seluruh mesin mati, bisa dibilang pesawat meluncur layaknya mobil menuruni sebuah turunan dalam keadaan mati mesin dan tanpa rem tangan. Hanya saja, sejauh mana pesawat meluncur bergantung banyak faktor.
Setiap pesawat tentu memiliki rasio terbang yang berbeda, artinya mereka akan kehilangan ketinggiannya dalam tingkat yang berbeda-beda. Hal ini mempengaruhi seberapa jauh pesawat bisa terbang tanpa dorongan mesin.
Contohnya, jika sebuah pesawat memiliki rasio angkat dan tarikan 10:1, maka untuk setiap 10 mil (16 kilometer) pesawat kehilangan ketinggian satu mil (1,6 kilometer).
Pesawat biasanya terbang di ketinggian 36 ribu kaki atau sekitar 10 kilometer, jadi pesawat yang kehilangan kedua mesinnya masih bisa terbang sejauh sekitar 112 kilometer sebelum sampai ke permukaan tanah.
Kendati begitu, insiden seluruh mesin pesawat mati sangat jarang terjadi; kecuali tertentu saja, seperti kehabisan bahan bakar, abu vulkanik, dan bird strike. Di antara ketiga itu, abu vulkanik pernah menyebabkan insiden seluruh mesin pesawat mati di Indonesia.
Disebutkan, setelah “tertidur” selama kurang lebih 63 tahun, Gunung di Tasikmalaya, Jawa Barat, itu mulai meletus kembali pada 5 Mei 1982. Letusan berupa dentuman, pijaran api, dan kilatan halilintar. Berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983.
Kala itu, pilot Eric Moody yang tengah membawa 263 penumpang tidak mengetahui bahwa Gunung Galunggung baru saja meletus.
Laporan CNN International, Eric sontak kaget ketika mengetahui bahwa empat mesin pesawat yang tengah ia kendalikan tersebut tidak berfungsi, tepatnya ketika pesawat berada di atas Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Ketika mengetahui insiden tersebut, pesawat tengah berada di ketinggian 36.000 kaki atau setara dengan 11.000 meter dan memutuskan untuk mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Baca juga: Apa Saja yang Bisa Bikin Mesin Pesawat Mati? Simak Jawabannya di Sini!
Untungnya, ketika pesawat British Airways flight 9 dengan nomor registrasi G-BDXH tersebut menyentuh ketinggian 13.000 kaki, tiga dari empat mesin kembali menyala, sehingga pesawat tersebut bisa melakukan pendaratan darurat di Jakarta, karena Eric mengaku, kota terdekat dari posisi pesawat adalah Jakarta.
Insiden seluruh mesin pesawat mati yang paling terkenal tentu “Miracle on the Hudson” pada Januari 2009. Kala itu, Kapten Chesley “Sully” Sullenberger mendaratkan Airbus A320 secara darurat di Sungai Hudson, New York, setelah kedua mesinnya mati akibat bird strike.