Perjalanan udara disinyalir menyumbang antara 2-3 persen dari emisi karbon dunia, tetapi persentase untuk itu setara dengan 4,5 miliar perjalanan penumpang, pergerakan 64 juta metrik ton kargo dan sepertiga dari perdagangan global dunia. Di samping itu, penerbangan juga menopang 65 juta pekerjaan.
Baca juga: Pengamat Penerbangan: Kalau Sudah Pakai Masker Semua, Kenapa Harus Jaga Jarak?
Namun, pandemi Covid-19 telah membuat industri penerbangan hancur berantakan. Hampir seluruh lini di industri penerbangan mengalami kesulitan keuangan dan berujung pada PHK karyawan. Menurut Cirium, setidaknya ada 18 ribu pesawat di-grounded di seluruh dunia.
Data tersebut pun diperkuat oleh FlightRadar24.com yang mencatat bahwa lalu lintas udara total pada bulan April turun 62 persen dan lalu lintas penerbangan komersial turun 73,7 persen dibanding periode yang sama di 2019 . Pada April 2020, hari tersibuk di langit terjadi pada tanggal 28, dengan 80.714 penerbangan. Namun tetap saja jauh tertinggal bila dibandingkan dengan 17 April 2019 dengan 203.239 penerbangan.
Akibat dari penurunan frekuensi penerbangan secara drastis, Asosiasi Transportasai Udara Internasional (IATA) memperkirakan maskapai dunia akan kehilangan profit loss sebesar $85 miliar atau Rp1.222 triliun (kurs 1 dollar = Rp14.300) pada tahun 2020. Angka tersebut bisa saja semakin membengkak mengingat industri penerbangan masih belum pulih seutuhnya karena wabah corona masih terus mengintai dan mendorong diterapkannya berbagai peraturan; salah satunya physical distancing.
Kebijakan physical distancing dalam setiap perjalanan udara di seluruh dunia dari perspektif kesehatan memang cukup bagus. Kita tahu, salah satu model penularan virus corona terjadi melalui droplet atau percikan. Organisasi Kesahatan Dunia (WHO) berujar, droplet tidak terjadi ketika satu dengan yang lainnya menjaga jarak sosial sekitar enam kaki atau dua meter.
Akan tetapi, dari segi bisnis, kebijakan physical distancing di pesawat (serta mungkin di moda transportasi lainnya) kurang begitu efektif. Analis penerbangan yang sudah 20 tahun lebih bersama Northwest dan Republic Airlines, Jay Ratliff, sebagaimana dilansir The Hill, menyebut kebijakan tersebut tak masuk akal. Ia memang tak mempermasalahkan temuan tidak adanya droplet antara dua orang yang berjarak dua meter.
Tetapi, yang ia permasalahkan justru ketidakefektifan physical distancing di pesawat. Dalam pengamatannya, mengosongkan kursi tengah sebagai pengaplikasian physical distancing di pesawat hanya membuat airlines terus-menerus berada dalam keadaan terseok-seok sambil tetap tak menjalankan physical distancing dengan baik, dengan jarak tak lebih dari 80cm.
Bila benar-benar ingin menjalankan dengan maksimal, dalam satu row, seharusnya maskapai hanya diperbolehkan untuk mengisi dua orang atau sama saja mengosongkan empat kursi tengah dan pinggir dengan hanya menyisakan masing-masing satu kursi di dekat jendela.
Formasi tersebut sangat mungkin untuk menciptakan physical distancing sejauh dua meter. Tetapi harga mahal di balik itu adalah pesawat kapasitas semakin menciut. Bila dengan kapasitas maksimum 50-70 persen saja maskapai masih terseok-seok, apalagi di bawah itu?
Di era New Normal seperti sekarang ini, perlahan tapi pasti, Jay Ratliff melihat banyak maskapai sudah mulai meninggalkan kebijakan mengosongkan kursi tengah. Pantuan redaksi KabarPenumpang.com, sejak Mei lalu, maskapai-maskapai di AS bahkan beberapa kali kedapatan membawa penumpang dalam kondisi penuh.
Dalam catatannya, sebetulnya hal itu tidak masalah. Jay tidak sendirian. Belum lama ini, IATA juga menyerukan hal serupa; bahkan lebih. Menurut mereka, pemerintah negara-negara di dunia tidak menerapkan kebijakan karantina ke wisatawan yang datang.
Baca juga: Covid-19 Ubah Enam Hal di Industri Penerbangan, Nomor 4 Bikin Geleng-geleng!
Sebab, sebelum naik pesawat, mereka telah melewati serangkaian proses panjang untuk memastikan hanya penumpang sehat yang diizinkan bepergian dengan pesawat. Mulai dari kebijakan rapid test serta test PCR atau uji laboratorium kepada seluruh penumpang, memakai masker, mencuci tangan dengan air mengalir atau hand sanitizer, sarung tangan, face shield dan berbagai kebijakan lainnya.
Bila sudah dipastikan hanya penumpang sehat yang naik, jadi, buat apa ada physical distancing? Pada akhirnya, keberlangsungan airlines tetap menjadi hal utama selain tetap memastikan hanya penumpang sehat yang ikut dalam penerbangan dengan sederet peraturan tersebut, tanpa harus menjaga jarak sosial di pesawat.