Jika Anda melewati seputaran patung Pemuda Membangun yang ada di ujung Jalan Jenderal Sudirman, atau di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Anda pasti pernah melihat sebuah tiang besi yang membentuk sebuah gawang, ya, itu adalah gerbang Electronic Road Pricing (ERP). Ini merupakan salah satu solusi yang pernah ditawarkan oleh pemerintah guna mengentaskan kemacetan yang seolah sudah mendarah daging di Ibu Kota.
Baca Juga: Ternyata, Trem Listrik di Jakarta Lebih Dulu Ketimbang di Belanda
Tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau yang kerap disapa Ahok ini berencana akan memberlakukan sistem jalan berbayar ini setelah dihapuskannya sistem three-in-one karena Ahok melihat adanya penyelewengan dalam sistem ini. Namun, tampaknya Ahok terlalu terburu-buru sehingga sistem ERP yang sudah mulai dibicarakan sejak 11 tahun yang lalu ini tidak kunjung beroperasi hingga kini. Mulai dari tidak adanya payung hukum serta beberapa masalah lain menjadi pokok perbincangan para pengamat hingga pihak-pihak berwenang.
Adapun lokasi-lokasi yang akan ditetapkan sebagai jalur ERP adalah sepanjang Jalan Jendral Sudirman hingga Thamrin atau yang dikenal sebagai jalur kepala naga, dimana gedung-gedung atau landmark perkantoran dan pusat perbelanjaan kelas atas berdiri. Tidak heran jika jalur ini akan mengalami kemacetan yang sangat parah di kala peak hours. Adapun Indonesia mengadopsi sistem ERP dari negara tetangga, Singapura, karena negara tersebut sukses mengentaskan kemacetannya dengan menggunakan sistem ini.
Untuk sistem pembayarannya sendiri, teknologi canggih akan terpasang di gerbang ERP yang akan memindai On-Board Unit (OBU) yang akan dipasang disetiap kendaraan yang melintasinya. OBU itu sendiri memiliki cara kerja yang hampir serupa dengan kartu TransJakarta atau KRL, dimana setiap penggunanya harus terlebih dahulu melakukan top-up di gerai-gerai yang ada. Saldo yang ada di OBU itu akan otomatis terpotong jika Anda melintasi jalur ERP.
Namun tampaknya pemerintah belum terlalu siap dengan kecanggihan sistem ERP ini, sehingga pada 22 Juli lalu, pemprov DKI membuka lelang pengadaan jalur berbayar tersebut. Dilansir KabarPenumpang.com dari laman koran-jakarta.com (24/7/2017), Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansyah, mengatakan pihaknya sudah menerima sekitar 19 lamaran dari perusahaan yang siap menimang sistem ini. “Baru dibuka 3 hari, sudah 19 perusahaan yang mendaftar,” tutur Andri.
Sementara dihimpun dari sumber lainnya, data statistik yang dilansir Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan, persentase pengguna kendaraan pribadi diperkirakan sebesar 74,7 persen. Jumlah ini hampir 3 kali lipatnya dari jumlah angkutan umum yang tersedia. Melihat total jalan yang hanya 6.954 km, dengan rasio jalan sebesar 6,3 persen dan pertumbuhannya pun hanya 0,01 persen per tahun, tentu kemacetan akan sulit terurai. Jika kondisinya sudah seperti ini, kira-kira kapan warga Ibu Kota bisa merasakan kemajuan dari bidang infrastruktur transportasinya ya?