Airbus belum lama ini dilaporkan tengah mengujicoba program ‘fello’fly’ yang terinspirasi dari angsa untuk mencapai konsumsi bahan bakar pesawat yang lebih rendah sekaligus mengurangi polusi. Program tersebut adalah terobosan dalam sebuah penerbangan dimana dua pesawat terbang secara bersamaan dan berdekatan untuk membentuk formasi “V” dalam penerbangan jarak jauh, layaknya angsa yang bermigrasi.
Baca juga: Lima Alternatif Pengganti Bahan Bakar Fosil Pesawat di Masa Depan, Nomor Dua Aneh!
Program tersebut adalah salah satu dari banyak proyek yang dilakukan di banyak industri, tak terkecuali di industri penerbangan, yang bertujuan untuk mengeksplorasi manfaat biomimicry, yakni praktik menyadur desain atau teknologi apapun yang ditemukan di alam untuk mendukung kemajuan teknologi manusia.
Dikutip dari simpleflying.com, Selasa, (17/3), uji coba tersebut dilakukan pada Kamis pekan lalu. Menurut tweet yang diposting oleh A350Blog, kala itu, Airbus A350 dikerahkan dalam penerbangan tunggal yang memakan waktu 11 jam, dimulai dari Toulouse-Islandia-Greenland-Kanada dan kemudian kembali ke Toulouse. Uji coba pertama memang sengaja dilakukan dengan formasi tunggal untuk mengumpulkan data serta menjadikannya sebagai pembanding dengan formasi ‘fello’fly’ yang sedikitnya melibatkan dua pesawat.
Pada keesokan harinya, Jumat, uji coba kedua dimulai. Saat itu, Airbus mengerahkan dua armada A350-nya untuk mengarungi penerbangan yang mirip dengan uji coba pertama, mulai dari jarak, rute, kecepatan, hingga manuver pesawat di udara. Bedanya, pada uji coba kedua ini pesawat mulai membentuk formasi “V” dalam balutan program ‘fello’fly’ layaknya angsa yang bermigrasi. Dalam aplikasinya, pesawat terbang dengan kecepatan dan ketinggian yang sama, dimana satu pesawat berada di depan dan pesawat lainnya berada diagonal di belakang.
Sebetulnya, ide tersebut sudah ingin diterapkan sejak lama. Hanya saja, saat itu, teknologi yang ada belum mendukung. Pasalnya, dalam uji coba formasi tersebut, pesawat terbang beriringan dengan jarak hanya 1,5nm (Nautical Miles) atau sekitar 2,7 kilometer di sebelah kiri belakang, jauh lebih kecil dari batas lima nm atau sembilan kilometer yang ditetapkan oleh FAA saat ini. Setelah teknologi pendukungnya ditemukan, barulah kemudian serangkaian uji coba serupa dilakukan pada 2016 dan 2019 silam serta satu pekan lalu.
Dari serangkaian tes tersebut, Airbus percaya bahwa pesawat dapat mengkonsumsi bahan bakar 10-15 persen lebih sedikit untuk pesawat yang berada di belakang (pada penerbangan dengan formasi “V”) bila dibanding dengan penerbangan tunggal. Sebetulnya belum dijelaskan lebih rinci mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Hanya saja, pada uji coba di 2019 lalu, seperti dikutip Telegraph, efisiensi yang didapat oleh pesawat yang berada di belakang terjadi akibat vortices atau vorteks. Sebetulnya tidak mudah untuk menjelaskannya dengan sederhana, namun, bisa dibilang, pesawat yang berada di belakang tersebut dapat lebih efisien karena melewati massa udara yang lebih ringan dibanding pesawat yang berada di depan.
Meskipun belum ada penelitian lebih lanjut, skemanya hampir mirip dengan saat mobil menerjang banjir ketika di darat. Sekilas, ketika menerjang banjir, mobil yang berada di belakang (dengan jarak yang terlalu lebar) memang terlihat lebih mudah melewati banjir karena air sudah ‘dibuka’ oleh mobil yang berada di depannya. Sama seperti pesawat, ‘lautan’ udara yang berada di atas, dalam formasi “V” sudah terlebih dahulu ‘dibuka’ oleh pesawat yang berada di depan, sehingga pesawat yang berada di belakang tidak terlalu mengeluarkan tenaga ekstra untuk melalui beratnya massa udara.
Selain itu, dalam berbagai literatur lainnya, ketika angsa migrasi dan membentuk formasi “V”, angsa yang berada paling depan memang bukan sembarang angsa, melainkan angsa yang sudah lebih dewasa dan dalam kondisi prima. Dalam perjalanan menuju tempat baru, angsa yang berada di depan memang kerap berganti-ganti.
Baca juga: Dear, Pilot! Airbus A350-1000 Berhasil Lepas Landas Otomatis, Loh!
Adapun angsa yang berada di belakang cenderung statis atau tak berubah-ubah posisi. Dari situ memang terdapat indikasi kuat bahwa angsa yang berada di belakang memiliki beban yang lebih kecil dibanding yang berada di depan. Hal itulah yang kemudian ingin diaplikasikan pada pesawat khususnya dalam penerbangan jarak jauh.
Namun, hal tersebut, mengelompokkan pesawat dalam dua rute yang sibuk, memang tak mudah. Selain pesawat harus lepas landas secara bersamaan, lalu lintas udara serta konsistensi pesawat dalam menjaga jarak, baik ketika autopilot maupun underpilot, harus mencapai tingkat sesempurna mungkin. Bila tidak, insiden buruk bukan tak mungkin akan terjadi. Namun, bila berhasil, efisiensi akan menjadi daya tarik sempurna maskapai untuk menerapkan skema tersebut. Airbus sendiri berharap, inovasi tersebut dapat diterapkan mulai pertengahan tahun 2020 mendatang.