Cathay Pacific mulai menerbangkan armada Airbus A350-nya dengan satu pilot mulai 2025 mendatang. Itu dilakoni di hampir seluruh penerbangan jarak jauh A350, dengan catatan proses sertifikasi berjalan lancar sesuai rencana. Dengan begitu, kebutuhan pilot maskapai Hong Kong itu bisa ditekan.
Baca juga: Pertama di Dunia, Airbus A350-1000 Berhasil Lepas Landas, Landing, dan Taxi Otomatis! Pilot Terancam?
Saat ini, Cathay Pacific telah memulai mimpi berbalut Project Connect tersebut bersama Airbus untuk mengembangkan operasi penerbangan jarak jauh A350 dengan hanya satu pilot.
Di bawah Project Connect, A350 hanya membutuhkan satu pilot di kokpit selama cruising di ketinggian. Dengan begitu, maskapai dimungkinkan memangkas pilot dalam penerbangan jarak jauh, dari semula empat atau tiga pilot menjadi hanya dua, dengan skema saling back-up satu sama lain untuk istirahat.
Kendati demikian, Cathay Pacific belum akan meluncurkan penerbangan A350 satu pilot usai mendapat sertifikasi dari regulator. Keamanan akan menjadi proritas utama maskapai dan masih mengkaji pendapat para penumpang terkait itu.
Disebutkan, gagasan terbang satu pilot tentu akan membuat penumpang takut karena menyangkut keamanan dan keselamatan penerbangan. Bukan hanya penumpang, regulator dan pilot sendiri mungkin juga bersikap sama.
Oleh karenanya, Airbus memiliki pekerjaan rumah sangat besar untuk membuatnya aman dan zero accident dalam prosesnya. Hanya dengan cara itu yang dinilai bisa membuat penumpang percaya.
Saat ini, regulator Eropa atau Badan Keselamatan Penerbangan Uni Eropa (EASA) tengah membahas berbagai persyaratan sistem pilot tunggal (single pilot) A350. Dibutuhkan teknologi tinggi untuk memantau seluruh sistem secara real time. Jika terjadi keadaan darurat, andai kata teknologi tak mampu menanganinya, pilot harus cepat sampai dalam hitungan detik.
Laporan Reuters, serikat pilot tentu saja menolak wacana single pilot A350. Selain mendatangkan PHK massal di seluruh dunia, masalah keamanan juga menjadi dalihnya. Dua kecelakaan Boeing 737 MAX pun disebut menjadi bukti rentannya teknologi baru atau peningkatan otomatisasi terhadap keselamatan.
Kendati diragukan, Airbus mengaku yakin bahwa teknologinya, semisal fitur flight warning seperti emergency descent, bisa menjawab keraguan regulator dan khalayak ramai.
Pada 2020 lalu, pesawat A350-1000 dilaporkan sudah berhasil lepas landas, landing, dan taxi otomatis dalam proyek kemanusiaan, mengangkut peratalan medis dari Beijing ke berbagai rumah sakit di Eropa.
Andai kata proyek single pilot ini berhasil tentu akan sangat menguntungkan maskapai. Bank Swiss UBS pernah memperkirakan bahwa seorang pilot biasanya dalam kendali penuh dari pesawat jet selama rata-rata hanya tujuh menit pada setiap penerbangan. Ia juga mengklaim bahwa pesawat komersial dan kargo satu pilot dapat terwujud dalam lima tahun ke depan.
Baca juga: Hanya Butuh Satu Pilot, Boeing Akan Umumkan Proyek “797” New Midsize Airplane di Paris AirShow 2019
Salah satu bank ternama di dunia karena tingkat keamanannya yang tinggi tersebut juga mengklaim, sistem operasi satu pilot juga akan mengarah pada peluang penghematan biaya untuk industri pesawat komersial yang lebih besar, setidaknya US$15 miliar atau sekitar Rp204 triliun, yang mencakup gaji pilot tahunan, pelatihan, bahan bakar, dan asuransi.
Namun, sepertinya proyek tersebut tak akan berjalan mulus. Survei tahun 2017 yang dilakukan oleh UBS menemukan bahwa 63 persen orang menentang terbang dengan pesawat tanpa pilot.