Selain memproduksi pesawat superjumbo A380, Airbus juga memproduksi pesawat mungil berjarak pendek hingga menengah, berbadan sempit dengan kapasitas maksimum 132 penumpang dan memiliki jangkauan maksimum 5.700 km. Selain itu, pesawat jet penumpang komersial bermesin ganda (twinjet), sekalipun hanya laku 80 unit, namun jumlahnya masih melapaui pesawat sejenis buatan kompetitor, Boeing 737-600 yang hanya laku 69 unit. Pesawat tersebut adalah A318.
Baca juga: “Ogah Rugi, Cari Paling Murah dan Tidak Ada Pilihan,” Jadi Momok Pemumpang Pesawat di Indonesia
Dikutip dari berbagai sumber, ide untuk membuat A318 berawal dari hasil riset pada tahun 1997 yang menunjukkan bahwa maskapai dunia pada umumnya membutuhkan pesawat kecil berukuran 70-80 penumpang. Atas dasar itu, kemudian Airbus sepakat menjalin kerjasama dengan Cina melalui Aviation Industries of China (AVIC), Singapura melalui Singapore Technologies Aerospace (STAe), dan Italia melalui Alenia Aeronautica untuk membuat pesawat dengan ukuran sekitar 100 orang.
Dalam perjalanannya, Cina tiba-tiba berubah haluan dan menginginkan pesawat yang lebih besar berkisar 150 orang. Tentu saja permintaan tersebut ditolak Airbus karena dikhawatirkan akan mengambil pangsa pasar A320 yang lebih dahulu lahir pada 22 Februari 1987. Cina pun akhirnya memutuskan mundur setelah tak mendapat jalan keluar atas ketegangannya dengan Airbus. Langkah Cina kemudian diikuti dengan Singapura yang mulai ragu dengan keberhasilan proyek A318. Adapun Italia diyakini tetap berada dalam proyek tersebut.
Meski demikian, sebelum bubar, empat negara tersebut telah berhasil membuat prototipe pesawat dengan kode sandi AE31X. Dari situ kemudian lahir dua pesawat turunannya, AE316 dan AE317, tanpa melalui fase eksplorasi alias fixed product pada desain pertama. AE316 memiliki panjang 31,3 meter dan AE317 memiliki panjang 34,5 meter. Setelah proyek bubar, Airbus tak ambil pusing. Produsen pesawat patungan antara Perancis, Jerman, dan Spanyol itu akhirnya mengambil desain A320, dengan memperpendek dimensinya menjadi hanya 31,44 m, tak jauh berbeda dengan desain AE316.
Meski demikian, mundurnya Singapura dan Cina yang notabener sebagai investor terbesar dengan 46 persen saham, bukanlah satu-satunya rintangan dalam proses produksi A318. Proyek senilai $2 miliar atau sekitar Rp31,5 triliun itu (kurs 15.779) tersebut bahkan terancam batal akibat peristiwa serangan 11 September 2011 yang membuat pesanan turun drastis.
Tak hanya itu, A318 yang semula menggunakan mesin Pratt & Whitney, kemudian memutuskan untuk menggantinya menjadi mesin keluaran CFM International (CFM). Hal itu karena mesin baru Pratt & Whitney dinilai justru lebih boros dan tidak sesuai ekspektasi. Mendapat kabar tersebut, beberapa maskapai pun, seperti Air China, British Airways, America West Airlines, dan Trans World Airlines (saat ini telah diakuisisi oleh American Airlines), membatalkan pesanan A318 dan mengalihkannya menjadi A319 atau A320, pesawat sejenis dengan kapasitas sedikit lebih besar.
Meski mendapat berbagai rintangan berat, sejak resmi melakukan layanan perdana pada 2003, A318 justru memiliki catatan kecelakaan yang cukup baik dalam internal keluarga A320. Pada 2018 silam, dari 118 kecelakaan yang melibatkan keluarga Airbus A320, satupun tidak ada yang melibatkan A318. Cukup aman, bukan?
Baca juga: Melawan Lupa, Ini Dia 4 Pesawat Terkecil di Seantero Jagad
Kini, pesawat yang ditenagai oleh dua mesin CFM56-5 atau Pratt & Whitney PW6000 dan jarak jangkau maksimal 5700 km tersebut dari 80 unit yang diproduksi, hanya tersisa 65 unit yang masih dioperasikan oleh lima maskapai, seperti Air France, TAROM, British Airways, Titan Airways, dan beberapa operator swasta atau pemerintahan.
Meskipun A318 adalah pesawat jarak pendek, nyatanya, Birtish Airways, mengoperasikan pesawat tersebut pada rute trans-Atlantik London-New York PP. Menariknya, karena Bandara London City memiliki landasan pacu pendek dan memaksa pesawat terbang dengan muatan terbatas, pada rute London-New York, A318 harus transit di Bandara Shannon, Irlandia, terlebih dahulu untuk mengisi penuh bahan bakar dan melanjutkan perjalanan ke New York, Amerika. Adapun pada rute New York-London, British Airways A318 dapat memuat penuh bahan bakar karena di bandara tersebut tidak ada pembatasan muatan dan dapat terbang langsung ke London dengan konfigurasi seluruhnya kelas bisnis 32 penumpang.