Sekilas, tidak ada yang aneh dengan terowongan yang dibangun pada 1879 sampai dengan 1882 oleh Perusahaan Kereta Api Negara Staatspoorwegen (SS) ini, namun jika ditelusuri lebih jauh, terowongan ini memiliki sisi yang menarik untuk dibahas. Terowongan yang berada di Kabupaten Cianjur ini bukan saja sebagai terowongan kereta pertama yang dibangun di Jawa Barat, melainkan di Indonesia. Jadi, tidak heran jika predikat terowongan tertua di Tanah Air disematkan kepada Terowongan Lampegan ini. Lalu, apa saja yang menarik dari terowongan ini?
Baca Juga: Rute KA Bogor – Sukabumi – Cianjur, Masih Eksis Meski Terlupakan
Berada di lintasan jalur Sukabumi – Cianjur, terowongan ini membentang sejauh 686 meter. Namun sejak bencana longsor pada tahun 2000 silam, membuat panjang dari terowongan ini menyusut menjadi 415 meter saja. Banyak spekulasi yang berkembang tentang pembangunan terowongan ini, dari mulai mengandalkan cara manual (menggali), hingga cara peledakkan.
Setelah Lampegan, beberapa stasiun lain dibangun untuk mendukung pengoperasian kereta api di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Tercatat, ada terowongan Sasaksaat di jalur Jakarta – Bandung yang dibangun pada tahun 1902, serta empat terowongan lain yang dibangun pada tahun 1914. Keempat terowongan tersebut adalah Terowongan Batulawang, Hendrik, Juliana, dan Wilhelmina. Namun sayang, keempat terowongan tersebut sudah tidak digunakan lagi dan hanya menyisakan cerita kelam dibalik pembangunannya.
Terowongan yang dilewati oleh kereta Siliwangi dan Pangrango ini sempat berstatus non-aktif yang disebabkan oleh rembesan air pada bagian atas terowongan. Setelah mengalami renovasi pada September 2000, jalur Sukabumi – Cianjur kembali terhubung. Namun, tertanggal 12 Maret 2001, terowongan itu ambruk lagi, dan jalur Cianjur – Sukabumi kembali cacat. Lalu pada tahun 2010 kemarin, setelah selesai direnovasi, terowongan tersebut kembali dibuka dan masih berdiri kokoh hingga kini.
Penamaan dari terowongan ini pun memiliki beberapa versi. Dari mulai mandor proyek Van Beckman yang selalu berteriak “Lamp pegang, Lamp pegang,” ketika hendak masuk ke dalam terowongan untuk memantau anak buahnya, hingga cerita tentang masinis yang pada masa itu selalu meneriakkan, “Lampen aan! Lampen aan!” saat kereta melewati terowongan itu. Teriakkan itu bermaksud agar para pegawainya menyalakan lampu agar kondisi dalam kereta tidak gelap saat melintas dalam terowongan. Sementara itu, dalam bahasa Sunda, Lampegan merupakan nama dari tumbuhan kecil.
Terlepas dari penamaan tersebut, ada pula cerita mistis dibalik terowongan ini. Nampaknya, ini menjadi salah satu daya tarik pengunjung datang ke terowongan ini. Pada sekitar tahun 1882, Meneer-Meneer Belanda dan Menak-Menak Priangan lalu mengundang Nyi Sadea, seorang pekerja Seni Ronggeng yang cukup tenar kala itu untuk menghibur mereka di acara peresmian terowongan Lampegan. Acara yang dimulai pada sore hari tersebut berjalan dengan meriahnya dan tidak terasa waktu sudah menunjukkan tengah malam.
Baca Juga: Hanya Cerita yang Tersisa dari Terowongan KA Wilhelmina di Pangandaran
Salah satu opsir Belanda lalu mengantarkan Nyi Sadea pulang melewati terowongan yang baru saja diresmikan tersebut. Sejak saat itu, Nyi Sadea tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Spekulasi kembali bermunculan, ada yang mengatakan bahwa Nyi Sadea “diperistri” oleh penunggu terowongan, ada juga yang menyebutkan bahwa Nyi Sadea dijadikan tumbal dalam acara peresmian tersebut dan jenazahnya ditanam di dalam tembok terowongan. Cerita tersebut terus berkembang di kalangan masyarakat sekitar dan hingga kini tidak ada yang mengetahui kemana Nyi Sadea pergi.
Ternyata, Lampegan banyak menyimpan cerita unik nan seram. Tidak hanya terkenal dengan terowongan kereta tertua di Indonesia saja, Stasiun Lampegan juga disinyalir sebagai salah satu stasiun kereta tertua di Indonesia. Bila Anda tertarik untuk menyambangi situs megalitikum Gunung Padang, maka salah satu rekomendasi terbaik adalah naik KA Siliwangi lalu turun di stasiun Lampegan, pasalnya jarak dari stasiun tersebut ke situs Gunung Padang hanya 8 kilometer.
Sebagai Bangsa yang menjunjung tinggi sejarah, sudah seharusnya Kita menjaga peninggalan-peninggalan sejarah semacam ini, bukan malah dijadikan “kanvas” oleh anak-anak tidak bertanggungjawab yang mencoret-coretnya. Sungguh miris melihat keberadaannya kini, seolah tidak dihargai. Dan, jangan lupakan keberadaan Nyi Ronggeng Sadea yang mungkin saja menyapa Anda atau oknum vandalisme ketika tengah melintasi terowongan Lampegan. Hiii!