Wednesday, February 12, 2025
HomeDaratMerasakan Nuansa Khas Vintage Stasiun Gundih di Jalur Penghubung Semarang-Solo

Merasakan Nuansa Khas Vintage Stasiun Gundih di Jalur Penghubung Semarang-Solo

Bangunan yang bergaya klasik, unik, dan nyentrik hingga saat ini, Stasiun Gundih merupakan stasiun yang memiliki ciri khas tersendiri. Memasuki usianya yang seabad stasiun ini terlihat kokoh hingga saat ini bahkan perawatan pun masih terus dilakukan agar keaslian bangunan cagat budaya terus dilestarikan.

Stasiun yang berada di kecamatan Gayer atau terletak 17 kilometer ke selatan dari Purwodadi, Grobogan ini memiliki keindahan. Selain dari areanya yang sunyi dan tenang, bangunannya pun memiliki keindahan yang memiliki nilai sejarah dan klasik yang tinggi. Keunikan bangunan Stasiun Gundih ini dihimpit oleh jalur kereta api di kedua sisinya dan merupakan jalur cabang kearah Stasiun Brumbung dan Stasiun Gambringan.

Stasiun Gundih tampak depan (foto: x.com/@kai121)

Meski stasiun ini jauh dari jalan raya Purwodadi-Surakarta, namun cukup mudah untuk menjangkaunya. Bangunan yang memiliki ciri khas dari arsitektur Chalet terlihat sangat serasi dibagian atap pelanannya membuat stasiun ini terlihat makin klasik. Alih-alih peron stasiun yang belum tergantikan membuat stasiun ini berkesan nostalgia bagi yang sudah merasakannya sejak masa kolonial.

Sedikit sejarah, wilayah Gundih dikenal sebagai penghasil kayu jati. Sebelum ada kereta api, satu-satunya akses transportasi ke Gundih adalah jalan raya yang menghubungkan Surakarta dengan Purwodadi. Akhirnya pada tahun 1870-an pemerintah kolonial membangun jalur kereta api dari Semarang ke Vorstenlanden dan diteruskan dari Tanggung ke Kedungjati. Salah satu titik yang dilalui oleh rangkaian jalur kereta tersebut adalah Gundih. Jalur kereta tersebut dibangun oleh perusahaan kereta, Nederlandsch Indische Spoorweg Maastschappij.

Sebelum jalur Gambringan-Brumbung dibangun pada tahun 1924, penumpang dan barang dari Semarang tujuan Surabaya atau sebaliknya harus berganti kereta di Stasiun Gundih lebih dulu. Bayangkan saja, sesibuk apa Stasiun Gundih kala itu dengan penumpang dan barang-barang hasil bumi yang juga mereka bawa. Dilansir dari harian De Locomotief pada 22 Februari 1899, Stasiun Gundih ternyata banyaknya warga Eropa yang berdatangan dan berkunjung ke Gundih. Alih-alih pemerintah kolonial Belanda rupanya memandang Gundih ini sebagai tempat yang sangat strategis.

Pada tahun 1914 akhirnya jalur kereta api Gambringan-Brumbung pun selesai dibangun. Penumpang yang hendak ke Surabaya ataupun sebaliknya tidak perlu lagi berganti kereta api di Gundih. Namun begitu Stasiun Gundih tetap menjadi utama untuk masyarakat yang hendak turun disitu.

Digadang-gadang sebagan stasiun klasik yang mempunya nilai sejarah yang tinggi, Stasiun Gundih pun memamerkan beberapa benda-benda cagar budaya yang dimiliki dan pernah digunakan. Karena stasiun ini sudah beralih fungsi dari mekanik ke elektrik untuk pengatur sinyal dan wesel, salah satu peninggalan bersejarah tersebut adalah alat pengatur sinyal mekanik. Alat pengatur ini pernah digunakan oleh Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Gundih sebagai pemberangkatan dan kedatangan kereta api serta memindahkan jalur yang dihubungkan oleh kawat baja. Kemudian toren air, bangunan gudang dan yang tak kalah bersejarahnya adalah bekas bangunan depo lokomotif uap.

Bamgunan bekas depo lokomotif uap (foto: istimewa)

Saat ini Stasiun Gundih menjadi stasiun kereta api yang dilewati baik dari arah Semarang, Surabaya, maupun Solo. Adapun warga Gundih dan sekitarnya kini bisa menempuh perjalanan ke berbagai kota di Pulau Jawa dengan praktis dan mudah dengan kereta api. Menggunakan kereta api Joglosemarkerto dan Banyubiru Ekspres, penumpang bisa naik dan turun di stasiun yang memiliki ketinggian 54 meter ini.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru