Penumpang pada umumnya khawatir terhadap turbulensi saat pesawat di udara. Tetapi, sedikit dari mereka yang khawatir bahan bakar pesawat habis atau seluruh mesin rusak di tengah penerbangan. Memang, khawatir terhadap hal itu terdengar aneh.
Baca juga: Mengenang Kisah Gimli Glider, Pendaratan Darurat Pasca Pesawat Kehabisan Bahan Bakar di Ketinggian 41 Ribu Kaki
Namun, ketika itu sungguh terjadi, bagaimana dengan pesawat, apakah tetap bisa terbang sejauh puluhan atau ratusan kilometer atau seketika jatuh bak batu dari ketinggian?
Sejak era penerbangan modern dimulai pada abad ke-20, berbagai insiden atau peristiwa di dunia penerbangan kerap terjadi; termasuk mesin rusak dan bahan bakar habis saat pesawat berada di ketinggian.
Pada 22 Juli 1983, pesawat Air Canada Boeing 767 dalam penerbangan dari Montreal ke Edmonton via Ottawa, Kanada, mengalami masalah.
Kapten Robert Pearson, 48 tahun, dengan pengalaman 15.000 jam terbang, dan kopilot Maurice Quintal, 36 tahun, dengan waktu terbang 7.000 jam, mendapati bahwa alarm tekanan bahan bakar rendah pesawat yang dikemudikannya tiba-tiba berbunyi dan kehabisan bahan bakar di ketinggian 41 ribu kaki atau 12 kilometer dari permukaan tanah.
Parahnya lagi, habisnya bahan bakar membuat semua mesin serta panel instrumen kokpit elektronik mati. Saat itu, Boeing 767-200 memang jadi salah pesawat jet pertama yang mengadopsi sistem instrumen penerbangan elektronik yang didukung oleh mesin. Praktis, ketika mesin mati, panel juga ikut mati.
Untungnya, turbin udara ram (RAT) cukup untuk memberi daya pada instrumen penerbangan darurat dalam mendukung proses pendaratan. Hanya saja, itu tidak termasuk vertical speed indicator yang menunjukkan kecepatan pesawat dan lokasi dimana pesawat harus mendarat.
Tak hanya itu, lokasi pendaratan di Gimli, Pangkalan Angkatan Udara bekas perang dunia yang sudah beralih fungsi jadi lokasi balapan mobil, berjarak 20 mil lebih dekat daripada Winnipeg, tengah diadakan balapan drag dan dipadati oleh banyak orang.
Minimnya informasi pendaratan -akibat panel instrumen kokpit mati- tak membuat Kapten Robert Pearson menyerah. Dengan pengalamannya menerbangkan glider (pesawat tanpa mesin) saat mengikuti pelatihan di angkatan bersenjata AS, Kapten Robert Pearson, mampu menerbangkan pesawat Air Canada di udara tanpa mesin.
Kapten Robert Pearseon, mampu mendaratkan pesawatnya di bekas markas angkatan udara Kanada di Gimli, Manitoba. Seluruh penumpang pesawat Air Canada yang berjumlah 69 orang berhasil selamat. Hanya sedikit dari mereka mengalami luka-luka ringan.
Dari peristiwa Gimli Glider, yang berarti pesawat terbang glider (tanpa dorongan mesin) dan mendarat di Gimli, pertanyaan di awal sudah terjawab, setidaknya pesawat mampu terbang sejauh beberapa mil tanpa daya dorong dari mesin.
Dalam kondisi seluruh mesin mati, baik karena kehabisan bahan bakar atau mesin rusak, pesawat tetap terbang bak meluncurnya mobil menuruni sebuah turunan dalam keadaan mati mesin dan tanpa rem tangan. Hanya saja, sejauh mana pesawat meluncur bergantung banyak faktor.
Setiap pesawat tentu memiliki rasio terbang yang berbeda, artinya mereka akan kehilangan ketinggiannya dalam tingkat yang berbeda-beda. Hal ini mempengaruhi seberapa jauh pesawat bisa terbang tanpa dorongan mesin.
Contohnya, jika sebuah pesawat memiliki rasio angkat dan tarikan 10:1, maka untuk setiap 10 mil (16 kilometer) pesawat kehilangan ketinggian satu mil (1,6 kilometer).
Baca juga: Apa Jadinya Kalau Semua Mesin Mati Saat Pesawat di Udara?
Pesawat biasanya terbang di ketinggian 36 ribu kaki atau sekitar 10 kilometer, jadi pesawat yang kehilangan kedua mesinnya masih bisa terbang sejauh sekitar 112 kilometer sebelum sampai ke permukaan tanah.
Pilot veteran John Cox punya pandangan berbeda terkait ini. Dalam sebuah tulisan di USA Today, pesawat kehabisan bahan bakar atau seluruh mesinnya mati saat di ketinggian 30.000 kaki (9.144 meter) disebutnya mampu terbang sejauh 161 kilometer, lebih dari cukup untuk terbang ke bandara terdekat dan mendarat darurat.