Larangan mudik lebaran pada tanggal 6-18 Mei 2021 akan berakhir hari ini. Selama periode tersebut, pergerakan penumpang pesawat jauh menurun. Alhasil, load factor di setiap penerbangan jauh dari cukup untuk memenuhi operasional perusahaan dan mengakibatkan maskapai rugi besar. Terlepas dari hal itu, sebetulnya, apa itu load factor?
Baca juga: Load Factor Maskapai Masih Melempem, Kemenhub: “Sangat Sangat Tidak Mudah”
Secara bahasa, load factor adalah rasio antara gaya angkat pesawat dengan beban beratnya. Secara istilah, load factor merupakan rasio antara kilometer penumpang yang ditempuh dengan kilometer kursi yang tersedia.
Load factor juga berarti sebuah indikator yang mengukur persentase tingkat keterisian kapasitas tempat duduk yang tersedia untuk penumpang. Data load factor dari seluruh maskapai di dunia dirilis setiap bulan oleh Asosiasi Transportasi Udara (ATA).
Di dunia, sudah menjadi rahasia umum kalau seluruh maskapai penerbangan mengejar load factor atau tingkat keterisian penumpang di setiap flight. Namun, akibat satu dan lain hal, tingkat keterisian penumpang tidak selalu berada di jalur yang benar atau sesuai harapan maskapai.
Di beberapa kondisi, pesawat harus terbang dengan hanya satu dua penumpang atau yang lebih parah dari itu, tanpa satupun penumpang.
Secara matematis, sebagaimana dikutip dari investopedia.com, pada intinya, sumber penghasilan terbesar maskapai, 75 persen di antaranya datang dari penumpang. Adapun sisanya, sebagaimana dikutip dari investopedia.com, 15 persen datang dari muatan kargo dan 10 persen lagi dari bisnis lainnya, salah satunya iklan.
Load factor di setiap pesawat dan penerbangan bisa berbeda-beda. Sebagai contoh, pada hari tertentu sebuah maskapai penerbangan menjalani lima penerbangan terjadwal, yang masing-masing menempuh jarak 200 kilometer dan memiliki 100 kursi, serta menjual 60 tiket untuk setiap penerbangan.
Itu berarti, di hari tersebut, maskapai terbang dengan 60.000 kilometer penumpang dan 100.000 kilometer kursi. Jika keduanya dikalikan, maka, load factornya ialah 0,6 atau 60 persen. Artinya, ketika maskapai menerbangkan pesawat dengan jumlah penumpang rata-rata di bawah 60 persen, sudah pasti operasional penerbangan tersebut merugi.
Setiap penumpang dibebankan secara kolektif kolegial atas berbagai beban yang ditimbulkan di setiap perjalanan, baik beban jangka pendek ataupun jangka panjang; seperti perawatan pesawat, sewa pesawat, biaya bahan bakar, airport charge, air navigation charge, in-flight entertainment, honor kru kabin, kru kokpit, staf darat, dan berbagai staf pendukung lainnya.
Persentasenya, hampir sepertiga biaya untuk operasional, 13 persen untuk perawatan, 13 persen iklan, 16 persen layanan di bandara, sembilan persen untuk layanan selama penerbangan, dan sisanya untuk biaya lainnya.
Baca juga: Bagaimana Load Factor Pengaruhi Profit Maskapai? Berikut Penjelasannya
Bila sebuah penerbangan merugi dan penerbangan lainnya untung, mungkin bisa tambal sulam, keungan pun aman. Namun, bagaimana bila seluruh penerbangan merugi, seperti yang saat ini dialami maskapai penerbangan di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Sudahlah dihantam pandemi virus Corona, maskapai dalam negeri harus menerima pil pahit akibat adanya larangan mudik. Kendati hanya kurang dari dua pekan, namun, itu setara dengan kerugian miliaran rupiah per harinya.