Tuesday, November 26, 2024
HomeDomestikBelajar dari Kecelakaan Korean Air 8509, Perlukah Indonesia Larang Pilot AU Jadi...

Belajar dari Kecelakaan Korean Air 8509, Perlukah Indonesia Larang Pilot AU Jadi Pilot Sipil?

Jangan tunggu pesawat kecelakaan untuk mengubah aturan dan kebijakan. Sebab, akan ada harga mahal yang harus dibayar untuk itu; entah puluhan nyawa melayang, miliran sampai triliunan rupiah lenyap, dan kepedihan mendalam keluarga korban saat terjadi kecelakaan pesawat.

Baca juga: Hari Ini, Kecelakaan Garuda Indonesia Flight 200 Akhirnya Antarkan Pilot ‘Arogan’ Pertama ke Penjara

Sejak era penerbangan hadir lewat kapal udara Zeppelin sampai era pesawat jet muncul, ratusan atau mungkin ribuan kecelakaan terjadi. Di antaranya, kecelakaan pesawat Boeing 747-200F Korean Air Cargo dengan nomor penerbangan 8509 di Bandara London Stansted, Inggris, tak lama setelah lepas landas.

Dilansir BBC International, pada tanggal 22 Desember 1999, pesawat tujuan Bandara Malpensa, Milan, Italia itu diketahui jatuh di hutan sekitar bandara akibat kesalahan pilot. Hasil investigasi dari black box menunjukkan, Korean Air Cargo flight 8509 jatuh akibat kesalah pilot.

Tak lama setelah lepas landas dan mencapai ketinggian 900 kaki, pilot hendak membelokkan pesawat ke 1,5 Distance Measuring Equipment (DME). Tetapi, indikator DME pilot tak berubah. Padahal pesawat sudah dibelokkan ke kiri. Itu kemudian diperparah dengan malfungsinya Attitude Director Indicator (ADI) milik pilot Kapten Park Duk-kyu (57 tahun). Padahal pesawat sungguh telah berbelok ke kiri.

Celakanya, kopilot Yoon Ki-sik (33 tahun) yang DME dan ADI berfungsi normal hanya diam saja. Ia sungkan untuk memberitahu Park Duk, yang mantan pilot Angkatan Udara Republik Korea dengan pangkat terakhir kolonel dan memiliki jam terbang total 13.490, serta 8.495 di antaranya diakumulasi menerbangkan Boeing 747. Jauh dibanding dirinya yang hanya memiliki total 1.406 jam terbang dengan 195 jam terbang di Boeing 747 di antaranya.

Sebetulnya, flight engineer Park Hoon-kyu (38 tahun) dengan 8.300 jam terbang sudah mengingatkan dengan berteriak, “Bank, bank,” agar memperhatikan manuver pesawat. Adapun maintenance mekanik Kim Il-suk (45 tahun) hanya menyimak saja. Namun, kapten pilot Park tak menggubris peringatan itu, termasuk juga terhadap compartor alarm di kokpit.

Ketika itu, pilot memang tak bisa mengecek true visual karena penerbangan dilakukan malam hari. Tetapi, ia seharusnya tidak mengabaikan bunyi comparator alarm dan peringatan dari first engineer terhadap left bank attitude. Alih-alih melakukan hal itu, ia justru memerintahkan kopilot untuk mendapatkan radar vector. Tak lama berselang flight engineer kembali mengingatkan left bank attitude. Namun, itu tak cukup waktu dan pesawat menghantam daratan.

Atas insiden itu, Cabang Investigasi Kecelakaan Udara (AAIB) Inggris mengeluarkan rekomendasi kepada Korean Air agar melarang pilot milliter menjadi pilot sipil dan itu diamini oleh maskapai.

Dalam kejadian ini, eks pilot militer kapten Park dianggap menganggap remeh masukan dari yang lain dan sebaliknya berlaku angkuh saat menerbangkan pesawat. Selain itu, jabatan terakhirnya sebagai kolonel dan senioritas (tertua di antara tiga kru lainnya) serta pengalamannya membuat kopilot segan menegur atau mengingatkan kapten.

Kejadian serupa memang belum pernah terjadi di Indonesia. Namun, ini menjadi sebuah bom waktu bila tak ada perhatian khusus. Peralihan dari pilot TNI Angkatan Udara ke pilot sipil memang sudah jadi rahasia umum di Indonesia. Setelah 10 tahun, pilot biasanya diberi keleluasaan untuk terus berkarir sebagai pilot TNI AU atau menjajal tantangan baru sebagai pilot sipil.

Baca juga: Inilah Asal Mula Kata ‘Roger’ yang Kerap Diucapkan Pilot Sipil dan Militer

Teranyar, kecelakaan Boeing 737-500 Sriwijaya Air SJ-182, yang dipiloti mantan pilot AU, Capt. Ahwan, bukan tidak mungkin disebabkan oleh sosok berwibawa sang kapten di mata kopilot Diego Mamahit dengan pengalaman 1.400 jam terbang sehingga enggan untuk mengingatkannya.

Demikian juga kecelakaan lainnya yang melibatkan eks pilot TNI AU, terutama yang sudah terlampau senior dan memiliki pangkat terakhir cukup tinggi. Sekalipun data terkait itu sangat sedikit dan butuh riset mendalam untuk membuktikan gap antara pilot eks militer dengan pilot sipil, namun, tidak ada salahnya mengevaluasi program pilot TNI AU menjadi pilot sipil di sebuah maskapai.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru