Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Minggu-Senin, 26-27 Agustus 1883 menyisakan cerita. Reruntuhan Gunung Krakatau ke lautan, yang terdiri dari puncak Gunung Berapi Perboewatan, Danan, dan Rakata, setelah empat letusan dahsyat, juga membuat tsunami dengan ketinggian 30 meter di atas permukaan laut Selat Sunda.
Baca juga: Hari Ini, 137 Tahun Lalu, Letusan Gunung Krakatau Berkekuatan 13 Ribu Kali Bom Hiroshima Terjadi
Di antara banyak kesaksian, kisah perjuangan Kapten T. H. Lindemann bersama enam orang kru di kapal Belanda, Governeur Generaal Loudon selamat dari ‘kiamat kecil’ dampak letusan dahsyat Gunung Krakatau jadi salah satu yang menarik.
Dilansir krakatoavolcanoeruption.weebly.com, pasca letusan besar pertama Gunung Krakatau pada Minggu, 26 Agustus 1883, Kapten T. H. Lindemann berniat untuk mencari tahu kondisi yang sebenarnya terjadi.
Pasalnya kala itu, sebaran informasi belum secepat sekarang ini. Sekilas, yang paling kentara ialah, langit menjadi hitam pekat tak lama setelah ledakan keras terjadi. Bahkan, dikisahkan di laman vansandick.com, tangan yang berada di depan mata sendiri saja sampai tak terlihat. Saking gelapnya. Selain itu, dari kejauhan, Gunung Krakatau juga diselimuti asap.
Rasa penasaran Kapten T. H. Lindemann semakin menjadi seiring berjalannya waktu. Makin malam, letusan terus terjadi dengan intensitas yang kian memburuk dan membuat gendang telinga warga di sekitar jarak 40 km pecah, saking kerasnya letusan. Di sekitar Gunung Krakatau, cahaya merah tampak menyelimuti langit akibat erupsi.
Keesokan harinya, Senin 27 Agustus 1883 sekitar pukul 6 pagi, Kapten T. H. Lindemann mendapati langit tak segelap kemarin, namun, matahari masih tak muncul karena diselimuti abu vulkanik. Berbagai batuan keras juga mulai menyerang rumah-rumah warga di sekitar. Tak lama, angin kencang disertai guncangan kembali terjadi. Bahkan, beberapa rumah di sekitar roboh karenanya.
Sekitar jam 7 pagi, Kapten T. H. Lindemann yang tengah berjaga-jaga di pantai di sekitaran Telok Betong (sekarang menjadi Telukbetung, Kota Bandar Lampung), dari kejauhan melihat seperti ada ombak cukup tinggi, seperti gunung air. Ombak tersebut kemudian menghantam wilayah pesisir dan diyakini mampu memusnahkan apapun yang ada. Sadar wilayahnya juga terancam, ia bersama enam kru kapal pun berlayar menggunakan kapal Governeur Generaal Loudon menuju Anjer (Anyer) di seberang pulau.
Saat dalam perjalanan itulah, tiba-tiba gelombang tsunami setinggi 30 meter akibat letusan reruntuhan Gunung Krakatau ke lautan mendekat dengan kecepatan tinggi. Dalam keadaan terdesak namun masih cukup waktu untuk berpikir, Kapten T. H. Lindemann memutuskan untuk melawan tsunami. Ia memerintahkan agar kapal berlayar mendekat ke arah datangnya tsunami, bukan menjauh.
Walaupun sempat hampir terbalik dan membuat seluruh penumpang mabuk, kapal akhirnya berhasil masuk ke dalam pusaran gelombang dan berlayar dengan kecepatan penuh di ujung gelombang yang berada di ketinggian. Saat itu, kapal sebetulnya belum benar-benar bisa dibilang selamat. Dari ketinggian sekitar 30 meter, kapal bisa saja terhempas ke perairan dengan keras dan hancur berkeping.
Beruntung, kapal berhasil kembali perairan dengan agak mulus dan berlayar menuju Anyer. Saat itu, kesaksian Kapten T. H. Lindemann bersama kru, tak ada lagi pemukiman yang mereka lihat kecuali lautan lepas.
“Kapal melaju dengan sudut tinggi melewati puncak gelombang dan menuruni sisi lainnya. Gelombang terus berlanjut menuju darat dan awak yang lumpuh menyaksikan laut dalam satu gerakan menyapu kota. Di sana, di mana beberapa detik sebelumnya telah terbentang Kota Telok Betong, tidak ada yang tersisa kecuali laut lepas,” bunyi kesaksian Kapten T. H. Lindemann.
Baca juga: Pasca Tsunami, Trafik Lintasan Ferry Merak – Bakauheni Berlangsung Aman dan Lancar
Selain Kapten T. H. Lindemann, ada juga kisah korban selamat letusan Gunung Krakatau disusul tsunami setinggi 30 meter lainnya. Istri seorang penjaga pantai, Beyerinck, dikisahkan selamat setelah mengalami luka bakar di sekujur tubuh akibat awan panas dan air yang dibawa tsunami menerjang rumah.
Awalnya, ia dan suami sempat ingin bunuh diri dengan cara memotong tangan keduanya begitu melihat ombak setinggi gunung dihadapan mereka. Alasannya, agar tak merasakan sakit mendalam akibat mati perlahan. Beruntung, pisau tak ada dan ombak lebih dahulu menghempas mereka. Sang suami tewas sedangkan istrinya selamat meskipun dalam kondisi mengenaskan.