Januari 2016 lalu mungkin jadi salah satu momen yang paling membahagiakan untuk industri penerbangan di Iran. Sebab, di waktu itulah pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi menghentikan embargo (sanksi ekonomi) berkepanjangan terhadap Iran yang putus-nyambung sejak November 1979.
Baca juga: Penerbangan Bersejarah di Iran, Seluruh Kru Kokpit Perempuan
Bak burung lepas dari sangkarnya, industri penerbangan di Negeri Syiah itu langsung tancap gas memanfaatkan kondisi tersebut untuk memperkuat pasokan bahan atau elemen pendukung bisnis mereka, khawatir sewaktu-waktu eskalasi politik antar kedua negara tersebut kembali meningkat. Tak terkecuali Iran Air.
Kala itu, tak lama setelah embargo dihentikan, maskapai nasional Iran itu memesan cukup banyak pesawat, mulai dari 12 unit Airbus A380, 46 unit A320, 38 unit A330 long range, dan 16 unit A350, dengan merogoh kocek sebesar $25 miliar.
Tak hanya itu, maskapai yang berbasis di Bandara Internasional Imam Khomeini dan Bandara Internasional Mehrabad ini juga memesan beberapa jenis pesawat Boeing, seperti 50 pesawat 737 MAX, 30 unit 777, 15 unit 777-300ER, dan 15 unit 777-9X dengan total belanja sebesar $17 miliar.
Dilihat dari berbagai pesawat yang dipesan Iran Air, cukup jelas bahwa maskapai yang berdiri pada 24 Februari 1962 itu ingin melakukan ekspansi besar-besaran, baik di tingkat regional atau kawasan (Timur Tengah), Eropa, Asia, hingga Amerika Utara. Berlandaskan hal itu, tentu, keputusan maskapai membeli pesawat-pesawat tersebut sangat tepat.
Airbus A380, misalnya, kuat diduga akan dimaksimalkan Iran Air untuk masuk di pangsa pasar penerbangan penumpang premium jarak jauh, sebagaimana tetangga mereka, Emirates, Etihad, dan Qatar Airways. Selain itu, dengan jumlah pesanan sebanyak 12 unit, Iran Air bukan hanya akan melawan The Three Mega Carrier Timur Tengah, melainkan juga akan melawan Qantas, yang setiap tahunnya (sebelum Covid-19) selalu menikmati pundi-pundi uang dari penerbangan premium A380 ke Eropa dan AS.
Akan tetapi, posisi Iran di industri penerbangan internasional pastinya tidak bisa disandingkan dengan Australia, Dubai, dan Qatar. Oleh karenanya, seperti dilansir Simple Flying, pembelian Airbus A380 Iran Air tentu sangat tidak tepat.
Selain itu, untuk pesawat yang direncanakan baru tiba pada 2019-2020 (seandainya kontrak tetap dilanjutkan), A380 tentu cukup usang dibanding pesawat-pesawat terbaru Airbus dan Boeing, seperti A350 dan 787 Dreamliner yang bisa terbang sama jauh namun konsumsi bahan bakar lebih efisien.
Baca juga: Mengharukan, Warga Iringi ‘Kepergian’ Airbus A380 Terakhir Saat Lewati Pedesaan Perancis
Lagi pula, Iran Air walau bagaimanapun tetap akan selalu berada dalam bayang-bayang sanksi ekonomi AS. Andai kata Iran Air tetap membeli A380 dan AS menerapkan kembali sanksi ekonomi, tentu pergerakan A380 dalam penerbangan jarak jauh akan terbatas.
Sudah begitu, pasokan suku cadang juga akan menipis. Sekalipun ada, besar kemungkinan rantai pasokan suku cadang A380 akan dikuasai oleh Emirates Airline yang diprediksi tak akan mau berbagi suku cadang dengan Iran. Jika sudah begini, tak ada alasan logis untuk dijadikan dasar Iran Air melanjutkan proses pemesanan A380. Pada akhirnya, ambisi udara Iran melalui perpanjangan tangan Iran Air akan sulit dicapai.