“Ning Stasiun Balapan
Kuto Solo Sing Dadi Kenangan
Kowe Karo Aku
Naliko Ngeterke Lungamu
Ning Stasiun Balapan
Rasane Koyo Wong Kelangan
Kowe Ninggal Aku
Ra Kroso Netes Eluh Ning Pipiku
Da… Dada Sayang
Da… Slamat Jalan”
Ketika mendendangkan lirik lagu ini, biasanya yang terlintas diawal adalah penyanyi Keroncong Dangdut yakni Almarhum Didi Kempot yang bernama asli Dionisius Prasetyo. Didi kempot yang memiliki julukan God of Brokenhearth bisa dikatakan yang mengenalkan lagu Stasiun Balapan dan jelasnnya mengenalkan Stasiun Solo Balapan ini kepada masyarakat Indonesia.
Baca juga: Menapaki Sentuhan Belanda di 10 Stasiun Tua di Indonesia
Lagu ini sendiri unik mengisahkan kisah cinta sepasang kekasih yang berpisah di Stasiun Balapan di Solo. Nah, dari pada penasaran bagaimana kalau mencari tahu keberadaan sebenarnya Stasiun Solo Balapan ini? KabarPenumpang.com yang merangkum dari berbagai laman sumber, Stasiun Solo Balapan merupakan stasiun paling besar dan bersejarah di kota Solo.
Bangunan stasiun ini pun sudah menjadi cagar budaya berdasarkan SK Bupati No.646/1-R/1/2013. Stasiun ini terdiri dari dua terminal atau emplasemen selatan dan utara. Emplasemen selatan memiliki lima jalur sepur dan emplasemen utara memiliki tujuh jalur sepur. Pada emplasemen selatan lebih sering digunakan dipakai untuk kereta apai penumpang sedangkan bagian selatan untuk pelayanan kereta api barang.
Setelah pembangunan jalur ganda pada lintas Solo-Yogyakarta rampung pada tahun 2007, jalur 4 dijadikan sebagai sepur lurus jalur ganda arah hulu (dari Yogyakarta) dan jalur 5 sebagai sepur lurus jalur ganda arah hilir (ke Yogyakarta) sekaligus jalur tunggal arah Madiun. Nama Balapan sendiri diambil dari nama kampung yang terletak di sebelah utara komplek stasiun.
Pembangunan stasiun ini dilakukan oleh perusahaan kereta api pertama Hindia Belanda Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada abad ke-19 di lahan milik Keraton Mangkunegaran. Peletakan batu pertama berlangsung pada tahun 1864, dimeriahkan dengan upacara yang dihadiri Mangkunegara IV dan mengundang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Baron van de Beele.
Stasiun ini dibuka pada tanggal 10 Februari 1870 bersamaan dengan pembukan segmen Kedungjati–Gundih–Solo, setelah sebelumnya jalur segmen Gundih–Solo direncanakan dibuka pada tanggal 1 September 1869. Pada tahun 1927, dibangun satu bangunan di selatan stasiun dengan arsitektur yang dipengaruhi oleh budaya Jawa dengan atap tajuk tiga.
Konstruksi bangunan stasiun sisi selatan dirancang oleh Herman Thomas Karsten, seorang arsitek kenamaan beraliran Indisch. Bangunan emplasemen utara yang dibangun lebih awal dirancang sebagai sebuah bangunan gedung memanjang, dengan atap pelana tanpa teritisan dibagian sofi—sofinya.
Di bagian tengah bangunan yang memanjang tersebut diletakan bangunan utama yang berfungsi sebagai hall kedatangan penumpang serta kantor administrasi stasiun dengan dimensi yang berbeda sehingga tampak seperti menara. Menara memiliki bentuk atap yang mengambil inspirasi bentuk atap lokal dengan dua tekukan kemiringan yang berbeda dan diberi akhiran ornamen pada puncak bubungan. Itulah ciri bangunan gedung bergaya Nieuwe Bouwen yang dikombinasikan dengan elemen lokal, sebagai mana terlihat jelas pada jenis konstruksi atap peron dan raut profil yang dibuat di pilaster—pilasternya.
Emplasemen selatan merupakan bangunan yang lebih baru dengan langgam bangunan yang merupakan penggabungan antara arsitektur lokal dan modern. Bangunannya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kanopi dropoff yang merupakan penambahan baru, bagian hall dengan loket dan kantor administrasi, serta bangunan emplasemen.
Bangunan hall dirancang dengan atap bertumpuk tiga sejajar yang tidak menunjukkan ciri arsitektur lokal. Sedangkan bentuk atap kanopi drop-off mirip pendopo yang diadopsi dari arsitektur setempat dengan konstruksi kolom beton. Bangunan emplasemen berupa bangunan panjang beratap pelana dengan struktur baja.
Bangunan emplasemen utara berkarakter Nieuw Bouwen yang dikombinasikan dengan elemen lokal. Bagian pintu masuk, hall dan kantor administrasi diletakkan di tengah dalam bentuk seperti menara sehingga menjadi vocal point bangunan ini.
Stasiun ini merupakan stasiun kereta api kedua di Indonesia yang menggunakan sistem persinyalan elektrik setelah Stasiun Bandung, tepatnya dinyalakan tahun 1972. Sinyal tersebut diproduksi oleh Siemens dan diberi seri DrS60.