Garuda Indonesia akhirnya akan mendapat dana talangan modal kerja BUMN (bridging loan) sebesar Rp8,5 triliun dari pemerintah. Sekalipun mekanisme dan penggunaanya belum dijelaskan secara rinci, namun beberapa kalangan menilai, dana tersebut akan digunakan sebagai modal operasional dan membayar utang.
Baca juga: Kata Pengamat Penerbangan: Secara Substansial Bisa Saja Garuda Dikatakan Bangkrut
Terkait penggunaan dana talangan untuk membayar utang, kepastiannya masih akan diperoleh setelah hasil final permintaan restrukturisasi dengan para para pemegang sukuk keluar, mengingat saat ini prosesnya masih berjalan dan pada 3 Juni 2020 adalah tenggat terakhir Garuda membayar kewajiban berupa sukuk global senilai US$500 juta atau setara Rp7,5 triliun (kurs Rp15.000/US$).
Bila negosiasi gagal dan Garuda Indonesia mau tak mau harus membayar kewajiban utang, praktis, perusahaan dengan kode GIAA di bursa saham itu hanya memiliki dana sisa sebesar Rp1 triliun untuk menghadapi ketidakpastian masa depan penerbangan global terkait virus Cina.
Meskipun angka tersebut (Rp1 triliun atau Rp8,5 triliun) masih lebih besar dibandingkan dana talangan modal kerja beberapa BUMN lainnya, seperti Perumnas sebesar Rp650 miliar, KAI sebanyak Rp3,5 triliun, PTPN senilai Rp4 triliun, dan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sebanyak Rp3 triliun, namun, bila dibandingkan dengan dana talangan modal kerja di negara lain untuk maskapai nasional mereka, Rp8,5 triliun masih tergolong kecil. Apalagi kalau dana tersebut harus dipotong untuk membayar utang.
Dihimpun KabarPenumpang.com dari berbagai sumber, Air Canada, misalnya, untuk memperkuat likuiditas, flag carrier Kanada itu mendapatkan suntikan modal sebesar US$1,62 miliar atau sekitar Rp24 triliun lebih. Angka tersebut pun dikabarkan belum final dan masih akan ada suntikan modal lainnya seiring perkembangan industri penerbangan global.
American Airlines Group akhir Maret lalu dikabarkan telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kucuran dana sebesar US$12 miliar atau Rp196 triliun sebagai bagian dari paket pinjaman dan hibah dari pemerintah AS sebesar $58 miliar atau Rp949 triliun untuk maskapai penerbangan. Adapun Qantas, disebut hanya akan mendapatkan dana sebesar $636,1 juta atau sebesar Rp10 triliun (kurs Rp16.009).
Begitu juga dengan Singapore Airlines, yang mendapat suntikan modal dari Temasek International, pemilik saham mayoritas (55 persen) Singapore Airlines (SIA), dan beberapa perusahaan lainnya sebesar S$19 miliar atau Rp218 triliun (kurs Rp11.292) ke maskapai flag carrier Singapura tersebut. Suntikan tersebut pun digadang-gadang akan menjadi langkah penyelamatan terbesar terhadap sebuah maskapai di tengah wabah virus corona. Terbukti, hingga saat ini, belum ada suntikan modal ke maskapai manapun yang berhasil melebihinya.
Alasan negara atau investor menyuntikkan modal ke maskapai nasional mereka tentu bukan tanpa alasan. Pada akhir Februari lalu, IATA telah berasumsi, jika corona sama dengan wabah SARS beberapa tahun lalu, maka, proses recovery sampai akhirnya benar-benar pulih kembali bisa mencapai 9 bulan. Faktanya, dengan banyak sumber menyebut bahwa wabah corona jauh lebih buruk dibanding SARS atau resesi global tahun 2008 lalu. Itu berarti, proses recovery bisa lebih dari 9 bulan.
Airport Council International (ACI) World memprediksi bahwa dibutuhkan setidaknya 18 bulan untuk kembali ke kondisi normal layaknya sebelum pandemi Covid-19 menyerang. Senada dengan ACI, Changi Airport Group (CAG) sendiri selaku operator Bandara Changi juga telah bersiap dengan kemungkinan proses recovery hingga 18 bulan. Air Canada lebih ekstrem lagi. CEO flag carrier Kanada itu, Calin Rovinescu memperkirakan butuh setidaknya tiga tahun untuk mencapai posisi seperti sebelum wabah virus corona merebak.
Dengan berbagai fakta di atas, menarik ditunggu, mampukah Garuda Indonesia bertahan dengan kemampuan finansial seadanya plus kondisi industri penerbangan global dan domestik yang tak kunjung stabil akibat pandemi corona?