Maskapai Air Canada mengaku mengalami kerugian sebesar US$1 miliar atau sekitar Rp15 triliun (kurs Rp15.342) di kuartal I 2020. Secara keseluruhan, pendapatan operasional di kuartal I turun menjadi $3,72 miliar atau Rp56 triliun dibanding US$4,43 miliar di tahun lalu. Dengan kondisi tersebut, maskapai yang berbasis di Montreal, Quebec, Kanada ini memperkirakan butuh setidaknya tiga tahun untuk mencapai posisi seperti sebelum wabah virus corona merebak.
Baca juga: Bukan Hanya PHK Karyawan, Ini Sejumlah Opsi Maskapai Agar Bisa Tetap ‘Hidup’
“Kami sekarang hidup dalam periode paling kelam dalam sejarah penerbangan komersial, jauh lebih buruk daripada 9/11, SARS, dan krisis keuangan 2008. Tidak ada keraguan bahwa kami saat ini belum keluar dari titik kesulitan terdalam,” kata CEO Calin Rovinescu, seperti dikutip dari cp24.com.
Sejak pertengahan Maret, maskapai terbesar di Kanada itu tercatat telah memangkas jadwal penerbangan lebih dari 90 persen, menggrounded lebih dari 200 pesawat, dan menutup layanan internasional untuk sementara menjadi hanya lima bandara dari semula lebih dari 150.
Tak hanya itu, revenue dari penumpang juga turun US$604 juta atau 16 persen pada kuartal pertama dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Parahnya lagi, Air Canada mengaku menghabiskan stok uang tunai sekitar US$22 juta atau Rp331 miliar per hari selama bulan Maret. Di saat yang bersamaan, pendapatan juga terus-menerus turun dan kondisi ini diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa lama ke depan. Tentu ini menjadi pukulan telak.
Kurtal II nampaknya belum banyak berubah. Sampai akhir April lalu, frekuensi penerbangan terkoreksi turun sebanyak 90 persen. Otomatis, Air Canada tak punya pilihan kecuali memaksimalkan angkutan kargo. Terlebih, pemerintah Kanada memang tengah gencar-gencarnya mencari suplai stok perlengkapan dan peralatan medis dari berbagai dunia untuk memerangi pandemi corona.
Diperkirakan, frekuensi penerbangan di kuartal III masih lesu, meskipun terdapat peningkatan, menjadi berkurang 75 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Namun, perkiraan tersebut bisa sangat tentatif, tergantung pada kebijakan lockdown negara-negara di seluruh dunia, permintaan penumpang, dan wabah virus Cina itu sendiri. Bila segalanya positif, maka, bukan tak mungkin penurunan penerbangan menjadi jauh lebih kecil dari 75 persen. Demikian juga sebaliknya.
Akan tetapi, andai corona sudah musnah dari bumi ini, Rovinescu mengaku lebih berharap banyak pada perjalanan liburan dari para pelancong dunia, bukan mengandalkan pada perjalanan bisnis. Ia berpendapat, bahwa ke depan mungkin perjalanan bisnis akan tak begitu bergairah mengingat pelaku bisnis saat ini hingga beberapa waktu ke depan lebih nyaman dengan the new era, meeting melalui Zoom atau Skype for Business (Microsoft).
Baca juga: Virus Corona Justru Bikin Bandara Terpencil Ini Jadi yang Tersibuk di Dunia
Saat ini, Air Canada mengaku telah melakukan sejumlah langkah efisiensi dengan menunda sejumlah rencana pengembangan bisnis, menggrounded pesawat, mempercepat pensiunnya 79 pesawat yang lebih tua, termasuk Boeing 767 yang kurang efisien, Airbus 319, dan Embraer 190. Selain itu, perusahaan juga telah meminta 20 ribu karyawan cuti tanpa dibayar.
Dari ke semua itu, Air Canada menyebut berhasil menghemat sekitar US$1,05 miliar atau sekitar Rp15 triliun lebih. Kemudian, untuk memperkuat likuiditas, flag carrier Kanada itu juga telah mendapatkan suntikan modal sebesar US$1,62 miliar atau sekitar Rp24 triliun lebih.