Salah satu hub utama di Asia, Bandara Hong Kong, mengaku telah kehilangan sekitar 91 persen selama bulan Maret bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (YoY). Otoritas bandara mengaku, musibah tersebut nyaris setara dengan musibah yang terjadi saat puncak wabah SARS pada 2003 silam.
Baca juga: Imbas Penumpang Turun Drastis, Bandara Hong Kong Satukan Pelayanan di Terminal Utama
Seperti dikutip dari traveldailymedia.com, selama bulan Maret, Bandara Hong Kong hanya melayani sekitar 576.000 orang, dimana 350.000 adalah kedatangan dan 226.000 keberangkatan. Angka tersebut tentu sangat jauh bila dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, saat 6,39 juta pelancong memandati bandara tersebut, tepat beberapa bulan sebelum terjadinya gelombang demonstrasi rakyat Hong Kong terkait isu RUU Ekstradisi yang nyaris mematikan pariwisata negara tersebut.
Akan tetapi, angka itu (576.000 orang) sejauh ini masih bukanlah yang terendah. Bila dibandingkan dengan puncak SARS pada 2003 silam, angkanya masih berkisar 12 ribu lebih sedikit.
Sejalan dengan penurunan frekuensi penumpang, jumlah pergerakan pesawat di bandara yang mulai dibuka pada tahun 1998 juga turun drastis. Bila dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, angkanya turun hampir dua pertiga menjadi 12.115 pesawat.
Baik jumlah pergerakan pesawat maupun jumlah penumpang, keduanya diperkirakan masih akan terus bergerak turun, mengingat pandemi Corona di Hong Kong masih terus mengancam. Maka dari itu, pekan lalu, otoritas Hong Kong memutuskan untuk melanjutkan perpanjangan penutupan akses bagi traveler asing hingga batas yang tak ditentukan, seiring meningkatnya kasus Covid-19 impor.
Sama halnya dengan perpanjangan penutupan bandara, pemerintah setempat juga tetap akan memberlakukan pengetatan pembatasan terkait travel yang dimulai sejak dua minggu lalu. Mereka yang baru kembali dari luar negeri harus mengisolasi diri di rumah selama 14 hari, sedangkan semua orang dari China daratan, Makau, dan Taiwan akan dikarantina di hotel atau di rumah, termasuk warga Hong Kong.
Orang-orang dari tiga lokasi tersebut yang sekaligus punya catatan perjalanan dari luar negeri dalam 14 hari terakhir tidak akan diizinkan masuk, kecuali memiliki izin tinggal di Hong Kong. Semua layanan transit akan dibekukan sementara dan aturan itu akan berlaku sampai ada pemberitahuan lebih lanjut.
Selama masa karantina mandiri, otoritas Hong Kong juga menyertakan teknologi terkini untu memastikan proses karantina berjalan dengan baik, yakni dengan menggunakan gelang elektronik canggih. Nantinya, gelang tersebut akan diberikan kepada turis maupun masyarakat yang baru pulang bepergian dari luar negeri untuk memantau mereka selama fase karantina mandiri. Guna mendukung kesuksesan kebijakan tersebut, pemerintah Hong Kong mengklaim pihaknya telah memiliki lebih dari 60.000 gelang siap guna.
Teknisnya, mula-mula seluruh pengguna, harus terlebih dahulu berjalan di sudut-sudut rumah, hotel, apartemen, atau tempat manapun yang telah dipilih, untuk memastikan teknologinya dapat dengan tepat melacak koordinat selama masa karantina. Namun, sebelum itu, pengguna terlebih dahulu harus terlebih dahulu mendownload aplikasi tertentu agar gelang tersebut dapat terhubung ke smartphone.
Berdasarkan koordinat tersebut, pemerintah akan membuat pemodelan ruang lingkup pengguna. Jadi, bila selangkah saja pengguna keluar dari rumah, maka pemerintah akan segera mengetahuinya. Oleh karena itu, selama karantina, praktis, pengguna tak punya pilihan lain untuk memenuhi isi perutnya kecuali menggunakan aplikasi berbasins daring untuk memesan makanan dan bahan makanan.
Bahkan, sebelum mulai menjalani masa karantina, setiap penumpang yang datang ke Bandara Internasional Hong Kong bukan hanya melewati pemeriksaan suhu tubuh, melainkan juga harus melewati pemeriksaan virus Corona atau rapid test. Dengan begitu, secara resmi, hal ini menjadikan Bandara Hong Kong menjadi yang pertama di dunia dalam pemeriksaan virus Corona bagi penumpang.
Baca juga: Hong Kong ‘Lockdown’ Warganya dengan Gelang Canggih
Selain peningkatan kasus impor, infeksi lokal juga mengundang perhatian serius. Dr. Ho Pak-leung, profesor rekan mikrobiologi dari University of Hong Kong, meminta pemerintah mewajibkan seluruh penduduk memakai makser.
“Menggunakan masker itu efektif,” katanya dalam sebuah program radio. “Itu bisa membantu menghambat penyebaran virus oleh orang-orang yang tidak menunjukkan gejala.”