Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berjanji akan memberikan insentif kepada maskapai tanah air sebagai respon dari turunnya pendapatan (potential loss) akibat distopnya penerbangan dari dan ke Cina hingga waktu yang belum ditentukan. Selain memberikan insentif, pemerintah juga mendorong untuk pihak lainnya untuk sama-sama memberikan insentif di bidang lainnya. Hal tersebut guna mendukung iklim pariwisata dalam negeri yang tak bisa dipungkiri juga berdampak langsung ke maskapai.
Baca juga: Penutupan Rute dari dan ke Seluruh Cina Daratan, Berpotensi Hanguskan Triliunan Rupiah
“Contoh insentif dari pemerintah kepada maskapai misalnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan kita kurangi, kemudian API dan AP II mengurangi landing fee, diskon sewa ruangan, dan sebagainya. Jadi Pemerintah, operator bandara, maskapai, hotel harus sama-sama memberikan insentif. Tidak mungkin pemerintah melakukan sendiri. Hal ini dilakukan untuk menggenjot sektor pariwisata. Supaya orang tetap punya keinginan untuk berlibur,” ujar Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, dalam keterangan pers yang diterima KabarPenumpang.com, Kamis, (13/2).
Dengan diberikannya insentif kepada maskapai, tentu saja hal tersebut adalah berita baik untuk dunia penerbangan dalam negeri. Namun, bila melihat dari sudut lain, kabar tersebut justru bisa saja menandakan maskapai dalam negeri tengah dalam kondisi yang terseok-seok atau bisa dikatakan tengah masuk periode lampu kuning.
Sebagaimana sudah banyak diinformasikan, di Indonesia sendiri, saat ini tercatat lima maskapai nasional yang mengoperasikan penerbangan ke Cina, yakni Garuda Indonesia, Citilink, Batik Air, Lion Air, dan Sriwijaya Air.
Garuda Indo sendiri, memiliki penerbangan dari dan menuju Cina ke lima kota, meliputi Beijing, Shanghai, Guangzhou, Zhengzhou dan Xi’an. Setiap pekannya, maskapai pelat merah itu melayani sebanyak 30 penerbangan.
Sementara itu, Lion Air, tercatat memiliki 15 rute ke Cina, meliputi Xi’an, Beijing, Shanghai, Guangzhou, Zhengzhou, hingga Wuhan. Berbeda dengan Garuda Indonesia, Lion Air memiliki frekuensi yang lebih banyak, sekitar 45 penerbangan dari 15 rute tersebut setiap pekannya.
Bila diambil rata-rata 30 penerbangan dalam sepekan, plus rata-rata okupansi 80 persen serta dikalikan lima maskapai, maka total potensi kerugian maskapai-maskapai tersebut mencapai Rp120 miliar per pekan. Bila penundaan rute dari dan ke Cina berlangsung selama sebulan, maka total potensi kerugian yang dihasilkan kelima maskapai tersebut mencapai Rp2,4 triliun. Angka yang cukup fantastis, mengingat kondisi penerbangan dalam negeri yang tengah lesu, ditandai dengan anjloknya jumlah penumpang pesawat udara tahun 2019 lalu.
Menteri Perhubungan sendiri, dalam pertemuan bersama MenParekraf, AP1, AP2 dan seluruh airlines yang beroperasi di Indonesia, menyebut potential lost yang dialami oleh maskapai berkisar di kisaran 30 persen. Namun ia belum dapat memastikan berapa tepatnya jumlah potential lost tersebut.
“Kita memang belum bisa memastikan kerugiannya sendiri, yang punya masalah itu rata-rata adalah yang berhubungan dengan mainland China dan Singapura. Yang lainnya sebenarnya relatif masih baik. Tetapi karena penerbangan ini juga ada sebagian ke Tiongkok kira-kira 30 persen, jadi berkurang rata-rata 30 persen,” terangnya.
Untuk menutupi potensial lost tersebut, pihaknya mengaku telah telah berdiskusi dengan maskapai, dengan memikirkan peluang-peluang apa yang mungkin dilakukan.
“Untuk opportunity, yang paling masif itu di Asia Barat seperti India, Pakistan, Bangladesh. karena memang beberapa saat sebelum kejadian ini, para duta besar itu bertemu saya untuk dapat connecting flight. Oleh karenanya saya minta kepada Garuda, Batik, Lion, Air Asia untuk mencari konektivitas ke Asia Barat, paling lambat bulan Mei ini untuk buka rute baru, karena perencanaan itu tidak bisa langsung seketika,” pungkas Menhub.
Baca juga: Dampak Virus Corona, Tiap Hari Bandara Changi Kehilangan 20 Ribu Pelancong
Sementara itu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengatakan insentif ini adalah untuk semua. Menurutnya dalam menyikapi hal ini harus dipikirkan secara komprehensif supaya dapat bertahan dalam tantangan menghadapi virus Corona ini, bukan hanya maskapai, tapi juga hotel dan sebagainya.
“Jadi kita mencoba kali ini untuk mendengarkan pemikiran dari maskapai dan kita juga sudah melakukan pembicaraan dengan PHRI dan sebagainya yang terkait dengan pariwisata secara keseluruhan. Jadi saya pikir ini adalah usaha kita untuk bagaimana dapat menghadapi tantangan virus Corona ini, tidak mudah tetapi kita harus lakukan yang terbaik. Untuk kerugian ini masih berjalan, kita tidak tahu karena virus Corona belum berhenti. Sebagai gambaran dalam setahun Tiongkok menyumbang 2 juta wisatawan dengan total devisa USD 2,8 milyar,” tuturnya.