Dunia saat ini sudah banyak kekurangan hutan hijaunya dikarenakan berbagai hal seperti pembakaran hutan, penebangan liar dan lainnya. Padahal hutan memiliki kepentingan yang paling besar yakni menjadi paru-paru dunia. Bahkan pemerintah Singapura juga merencanakan untuk nol sampah dan dana inisiatif hijau untuk inovasi berkelanjutan. Namun hal ini kemudian menjadi masalah ketika pemerintah mengumumkan bahwa jalur kereta api masa depan melintas dibawah cagar alam terbesar di negara tersebut.
Baca juga: Kereta Uap Kalimantan, Pelancong Diajak Jelajah Hutan Borneo Tanpa Pendingin Udara
Dilansir KabarPenumpang.com dari laman greenqueen.com.hk (11/12/2019), cagar alam ini sendiri berisi hutan primer dan aliran air tawar yang dihuni oleh hewan-hewan langka. Dalam keputusan yang dumumkan beberapa waktu lalu, jalur kereta api angkutan massal cepat atau MRT tersebut yang akan selesai pada 2030 mendatang akan dibangun di bawah Central Catchment Nature Reserve atau Cagar Alam Pusat Tangkapan Air.
Diketahui, cagar alam ini menjadi yang terbesar di Negeri Singa tersebut dan dijuluki paru-paru hijau di bagian tengah Singapura. Cagar alam itu berisi sisa-sisa hutan primer asli pulau tersebut, sebab 99,5 persennya sudah hilang, selain itu memiliki aliran air tawar serta menjadi rumah bagi spesies langka seperti Pangolin Sunda dan Mousedeer kecil.
Komunitas konservasi alam di Singapura yang mengetahui akan adanya pembangunan MRT tersebut kecewa dan mereka prihatin atas usul jalur MRT sepanjang 50 km tersebut memiliki dua kilometer dibawah cagar alam. Untuk menghindari ini, para aktivis menganjurkan rute lintas lainnya untuk mengitari cagar alam.
Dengan pemindahan jalur tersebut nantinya juga memiliki jangka panjang di mana bisa melindungi keanekaragaman hayati untuk upaya berkelanjutan Singapura. Hutan Singapura saat ini sudah sangat rusak dan pengembangan rel akan mengancam polusi lebih lanjut dari aliran hutan oleh limbah konstruksi cair yang memengaruhi konektivitas hutan kritis untuk hewan yang tinggal di pohon.
“Pada prinsipnya, ini merupakan pelanggaran terhadap kesucian cagar alam kita. Saya sangat merasa bahwa setiap pembangunan akan menjadi preseden untuk pengembangan lebih lanjut di bawah cagar alam kita di masa depan. Dan kita seharusnya tidak mengambil risiko,” ujar Vilma D’Rozario, aktivis satwa liar.
Menurut pemerintah Singapura, keputusan mereka diambil setelah mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk kekhawatiran kelompok-kelompok alam dan warisan, penduduk dan suara-suara akar rumput. Namun, pengumuman pihak berwenang mencerminkan titik rendah untuk upaya konservasi di Singapura, dan bertentangan dengan keterlibatan kementerian lingkungan baru-baru ini dalam beberapa inisiatif profil tinggi untuk memerangi krisis iklim dan limbah di negara-kota, seperti mengucapkan 2019 “Tahun Tanpa Limbah” dan mengeluarkan beberapa “rencana induk” untuk memerangi masalah ini.
“Ini adalah paru-paru negara kita dan ada kemungkinan bahwa kita bisa menjadi negara penderita asma,” kata spesialis keberlanjutan Madhumita Ardhanari.
Baca juga: Sambut HUT Kemerdekaan Ke-54, Interior MRT Singapura Dipasangi Tema “Our Singapore”
Di tengah meningkatnya keadaan darurat, rencana untuk terus maju dan melemahkan cadangan hutan dengan jalur rel baru di pusat Singapura adalah langkah yang harus disesali. Rally iklim pertama Singapura yang diselenggarakan oleh aktivis mahasiswa muda tahun ini, yang diikuti oleh 2.000 orang, mendesak pemerintah dunia untuk mendengarkan para ilmuwan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan melindungi hutan untuk memerangi krisis iklim. Sangat penting bahwa pemerintah mengikuti saran dari generasi muda, dan mengakhiri kelambanan iklim sebelum terlambat.