Hari Minggu lalu, 40 tahun lalu, bertepatan dengan 28 Maret 1981, pesawat DC-9 (Douglas DC-9) Woyla Garuda Indonesia PK-GNJ dibajak di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Peristiwa pembajakan ini pun menjadi kasus pembajakan pesawat paling terkenal di Indonesia lantaran menjadi pesawat pertama dari Indonesia yang dibajak di luar negeri.
Baca juga: DC-9 Garuda Indonesia, Andalan Penerbangan Jet Domestik Era 80-an
Disarikan dari berbagai sumber, kisah pembajakan pesawat pertama Indonesia di luar negeri dimulai sekitar pukul 10.00 waktu Indonesia. Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” rute penerbangan Jakarta-Palembang-Medan dibajak oleh lima orang teroris bersenjata dari Komando Jihad; Mahrizal (pemimpin pembajakan), Abu Sofyan atau Sofyan Effendi, Abdullah Mulyono, Zulfikar T. Djohan Mirza, dan Wendy Mochammad Zein.
Kelimanya menuntut agar rekan mereka sebanyak 80 orang dibebaskan dari tahanan, untuk kemudian bergabung dengan mereka di Thailand, dan pergi ke Timur Tengah, dalam hal ini Libya, melewati rute Penang, Malaysia–Bangkok,Thailand–Colombo, Srilanka–Libya.
Melihat dari rute kemana pesawat dengan nomor penerbangan 206 dibawa, sebetulnya, pembajakan pesawat Woyla bisa saja berakhir di Bandara Penang, Malaysia. Sebab, pesawat mau tak mau harus berhenti untuk mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand.
Hanya saja, karena tidak adanya kedekatan khusus antara Indonesia dan Malaysia -padahal di saat yang bersamaan Indonesia sudah menyampaikan peristiwa pembajakan ini ke pemerintah Malaysia- alhasil diplomasi gagal dan Malaysia tetap memberikan akses ke pesawat Woyla yang dibajak untuk mengisi bahan bakar.
Diplomasi kemudian berlanjut ke Thailand. Di sini, sebetulnya nyaris gagal juga. Bila sampai gagal, diplomasi di negara selanjutnya akan lebih sulit karena sudah di luar regional yang sama. Tak ayal, Thailand pun bisa dibilang sebagai penentu nasib 57 penumpang, di antaranya dua warga negara AS, dan sejumlah kru.
Setelah negosiasi alot, akhirnya pemerintah Thailand mengizinkan dilakukannya operasi militer. Opsi itu dianggap terbaik oleh Indonesia mengingat tuntutan teroris pembajakan pesawat DC-9 Woyla cukup berat, yaitu membebaskan 80 orang dari kelompok mereka yang ditahan di Jakarta dan uang tebusan sebesar 1,5 juta dolar.
Operasi penyelamatan pun dimulai. Setelah sekitar 60 pasukan antiteror Kopassandha atau Kopassus yang diberangkatkan dengan pesawat DC-10 bersiap, ditambah bantuan perlatan audio canggih dari CIA, yang berkepentingan untuk menyelamatkan dua warganya, dimana alat tersebut memungkinkan percakapan di dalam pesawat dapat dipantau dari jarak jauh, pasukan yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan pun beraksi.
Ketika itu, operasi militer dilakukan pada pukul 3 dini hari waktu setempat. Itu dilakukan sesudah memanfaatkan alat komunikasi bantuan dari CIA dan mendapati lima orang teroris di dalam pesawat Woyla sedang istirahat.
Operasi militer pun berhasil. Seluruh penumpang selamat namun terdapat korban luka-luka, di antaranya warga negara AS yang tertembak.
Baca juga: Ada DC-9 Berlivery Klasik di Hanggar Garuda Maintenance Facility, Buat Apa Ya?
Selain itu, ada juga korban tewas, dimana Capa Achmad Kirang dari tim antiteror meninggal di rumah sakit Angkatan Udara King Bhumibol, Bangkok, dua hari setelah operasi pembebasan sandera. Sedangkan pihak Garuda kehilangan kapten pilot Herman Rante yang meninggal di rumah sakit yang sama enam hari kemudian. Mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Adapun kelima teroris tewas di tempat.
Meskipun bukan pembajakan pesawat pertama dalam sejarah penerbangan Indonesia, namun, pembajakan pesawat DC-9 Woyla Garuda Indonesia jadi kasus pembajakan pesawat paling terkenal di Indonesia, dengan status sebagai pembajakan pesawat pertama dari Indonesia yang dibajak di luar negeri.