Pemandangan ratusan hingga ribuan orang yang menaiki atap kereta untuk sampai di tempat tujuan pada rentan tahun 90-an hingga 2000-an di Ibu Kota memang bukanlah menjadi sesuatu yang tidak wajar. Para atapers, sebutan untuk orang-orang tersebut, memang sudah terbiasa melakukan hal nekat agar mereka bisa sampai di stasiun yang mereka tuju dengan tepat waktu. Karena tidak ada yang bisa memungkiri, diantara seluruh moda transportasi darat, hanya keretalah yang memiliki estimasi perjalanan yang bisa dibilang tepat waktu.
Baca Juga: Atapers, Para Penantang Maut dari Atas Gerbong
Keberadaan atapers perlahan-lahan mulai hilang, terutama setelah kejadian bentrokan yang terjadi pada 28 Februari 2013 antara para atapers dengan pihak berwajib yang bekerja sama dengan pihak keamanan kereta. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 25 Juli 2013, PT Kereta Commuter Jabodetabek resmi menghapus keberadaan KRL ekonomi non AC dan menggantikannya dengan CommuterLine. Kehadiran sistem transportasi baru ini tentunya membuat perubahan yang amat besar, salah satunya adalah kehadiran sterlisasi di stasiun serta lebih memperketat sistem keamanan. Dengan kata lain, para atapers yang ternyata tidak pernah membeli tiket alias penumpang gelap tersebut tidak lagi dapat menikmati hembusan angin dari atas gerbong kereta.
Walaupun dari tubuh penyedia jasanya sendiri sudah berevolusi menjadi sebuah perusahaan yang diharapkan mampu untuk memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggannya, namun tetap saja ada segelintir orang yang mengeluhkan tentang kepadatan KRL pada peak hour, seperti jam berangkat kerja dan jam pulang kerja. Mereka merasa tidak nyaman dengan kondisi moda transportasi berbasis massal tersebut, bahkan tidak sedikit juga orang yang mengatakan moda tersebut sudah tidaklah manusiawi dengan menjejalkan orang ke dalam gerbong.
Namun fenomena seperti ini sudah menjadi sarapan bagi mereka yang selalu memulai aktifitas di pagi hari dengan menggunakan KRL. Dengan harga yang amat terjangkau dan kondisi gerbong yang masih terhitung sangat layak dengan keberadaan pencahayaan yang cukup dan Air Conditioner tersebut seharusnya segelintir orang tersebut tidak lantas memojokkan pihak penyedia jasa. Justru, mereka harusnya bisa lebih menghargai kerja keras pihak penyedia jasa apabila mereka melihat kondisi perkeretaapian di sebuah Negara yang terletak di Selatan Asia dengan Ibu Kota Dhaka, Bangladesh.
Sebagaimana KabarPenumpang.com wartakan dari thesun.co.uk, Kamis (1/6/2017), setiap pagi, kereta-kereta tersebut dipenuhi oleh jutaan manusia. Tua, muda, laki-laki, dan perempuan semuanya bercampur menjadi satu demi bisa menggunakan jasa kereta lokal tersebut. Bahkan, keselamatan penumpang khususnya Ibu hamil dan anak kecil sangatlah tidak diprioritaskan, tidak seperti di Ibu Kota yang masih menghimbau para penumpangnya untuk mendahulukan tempat duduk bagi Ibu hamil dan Ibu yang tengah menggendong anaknya.
Sebanyak 8.000 hingga 10.000 orang berusaha untuk mencari tempat duduk yang tersedia di dalam kereta, tidak lagi memperdulikan siapa yang berdiri di samping mereka. Salah satu alasan mengapa kereta tersebut bisa menjadi sepenuh itu adalah karena Bangladesh adalah negara dengan populasi terpadat kedelapan di dunia dengan 162.000.000 penduduk, dan mereka semua bersaing untuk mendapatkan sumber daya alam yang tersedia di Negara mereka, dan melakukan pekerjaan lain yang dapat menghasilkan pundi-pundi uang. Selain itu, semua kereta api di Bangladesh menghubungkan daerah sub-urban dengan distrik-distrik sentral yang berbeda di Bangladesh.
Seolah menyingkirkan pentingnya keselamatan, seluruh penumpang kereta tersebut, tanpa terkecuali, terpaksa untuk menggunakan pegangan luar dan memanfaatkan sisa tempat yang ada agar mereka bisa pulang. Sumber menyebutkan, kondisi sesak tersebut biasanya terjadi pada sore hari. Lalu, bagaimana cara orang-orang tersebut bisa memanjat ke bagian atap kereta? Biasanya mereka akan naik sendiri, tapi tidak sedikit juga yang menggunakan alat bantu seperti sebuah kain panjang hingga sebuah tangga.
Baca Juga: PT INKA, Kepercayaan Dunia Dalam Industri Kereta di Dalam Negeri
Lalu, bagi mereka yang tidak mendapatkan tempat di kereta, mereka memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki, walaupun cara ini dinilai lebih bijaksana ketimbang harus mempertaruhkan nyawa di atas si ular besi. Bagi mereka yang rumahnya jauh dari stasiun, mereka biasanya akan memilih untuk menggunakan bus, truk, atau kendaraan lain.
Jadi, masihkah Anda mau mengeluh mengenai sistem transportasi yang ada di Ibu Kota?