Dalam upayanya untuk meremajakan salah satu moda transportasinya, pemerintah Indonesia kerap meminta bantuan pendanaan dari pihak asing, terlebih bila menyangkut pengadaan transportasi yang bernilai strategis dan berbiaya ekstra tinggi, seperti pembangunan infrastruktur kereta cepat.
Namun ada yang menjadi sengkarut terkait hal tersebut, Indonesia mulai meminta bantuan kepada pihak asing walaupun pada saat ini, Indonesia masih terikat kerjasama dengan pihak Jepang dalam hal peremajaan kereta apinya. Presiden Joko Widodo dikabarkan tengah menyusun rencana untuk mengundang negara asing lainnya untuk turut serta dalam proyek tersebut guna menekan pengeluarannya.
Baca Juga: Utamakan Produk Dalam Negeri, Indonesia Pertimbangkan Pembatasan Impor Kereta dari Jepang
Sebagaimana dilansir KabarPenumpang.com dari asia.nikkei.com (18/7/2017), hubungan antara Jepang dan Indonesia bisa saja semakin meradang jika proyek ini gagal, mengingat sebelumnya, Indonesia lebih memilih Cina ketimbang Jepang dalam proyek kereta cepat pada tahun 2015 silam. Proyek peremajaan ini bertujuan untuk memangkas waktu tempuh Jakarta – Surabaya yang hingga kini memakan waktu perjalanan kurang lebih 11 jam tersebut. Selain itu, tujuan lainnya adalah perombakan jalur yang sudah ada sebelumnya, yang notabene jalur tersebut dibangun pada era kolonial Belanda.
Pada awalnya, pihak Indonesia setuju dengan penawaran Jepang, yaitu menutup semua jalur perlintasan agar kereta dapat melaju lebih cepat. Namun, untuk meningkatkan kecepatan, kereta yang digunakan mestilah kereta listrik dan meningkatkan perkiraan biaya menjadi lebih dari 800 miliar Yen atau setara dengan 96 triliun rupiah. Melihat pembengkakan tersebut, proyek tersebut mulai terlihat keruh.
Indonesia sendiri yang sudah banyak memiliki pinjaman pihak asing tentu merasa gentar melihat lonjakan harga tersebut. Awalnya, pihak Jepang menawarkan pinjaman dan Indonesia tampak senang dengan gagasan tersebut. Namun, tawaran pinjaman tersebut ditolak manakala Presiden Joko Widodo menunjuk Sri Mulyani untuk mengisi posisi sebagai Menteri Keuangan. Prinsip Sri Mulyani untuk menjaga disiplin fiskal lantas memilih untuk menempuh jalur kemitraan publik – swasta daripada menerima pinjaman Yen tersebut, yang nantinya hanya akan menambah hutang negara.
Baca Juga: CRH380A, Kereta Tercepat Kedua di Dunia, Siap Layani Jalur Jakarta – Bandung
Lalu pada Desember 2016 lalu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) lalu mengeluarkan pernyataan yang mengatakan pihak Indonesia sudah sepakat untuk menjalin kerja sama dengan Jepang dalam proyek perkeretaapiannya. Namun, walaupun kerja sama sudah dijalin diantara keduanya, Indonesia tetap melelang proyek tersebut kepada negara asing lainnya.
Disebutkan, Kementerian telah menyusun rencana pelelangan, termasuk melampirkan persyaratan seperti kererta harus menggunakan tenaga listrik dan kerja sama dijalin dengan hubungan Public Private Partnership (PPP). Dengan kata lain, hal ini mempengaruhi hubungan kerja sama yang telah dijalin dengan Jepang sebelumnya, dengan kemungkinan terburuk yaitu pembatalan kerja sama. Namun pemerintah tidak mau terburu-buru dan masih menunggu keputusan dari Presiden.
Baca Juga: Jepang Tawarkan Teknologi Kereta Cepat Malaysia – Singapura
Tentu saja, ini merupakan pertanda buruk bagi Jepang yang seolah siap untuk menelan kembali pil pahitnya setelah kejadian dua tahun lalu dimana pemerintah lebih memilih Cina untuk memfasilitasi proyek kereta cepat Jakarta – Bandung. Kala itu, Jepang hampir dipastikan untuk mengekspor Shinkansen ke Indonesia namun gagal karena Presiden Jokowi lebih memilih Cina yang mengajukan PPP dan tidak menuntut kontribusi keuangan dari pemerintah Indonesia pada Oktober 2014 silam.
Sekretaris Kabinet Jepang,Yoshihide Suga mengatakan keputusan yang diambil oleh Indonesia merupakan sesuatu pilihan di luar akal sehat. Sejak saat itu, hubungan Indonesia dengan negara yang pernah menjajahnya tersebut kian memburuk. Dilansir dari sumber yang sama, kemungkinan keputusan terakhir tentang nasib proyek ini akan dibuat Presiden pada awal Agustus mendatang.